Blitar – Dandhy Laksono menyoroti paradoks kemiskinan yang dialami nelayan di tengah melimpahnya sumber daya laut. Ia menyebut profesi penangkap ikan justru menjadi salah satu kelompok paling miskin, meski mengelola komoditas bernilai tinggi.
“Indonesia punya laut selatan, pantai panjang, hasil laut melimpah, tapi nelayannya miskin. Padahal harga lobster mahal dan tidak semua orang pernah memakannya seumur hidup,” kata Dandhy, Selasa, 23 Desember 2025 di Pecel Tegal Sengon, Blitar.
Ia menilai kondisi tersebut menunjukkan ketimpangan serius dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Menurutnya, masyarakat lokal justru tidak menikmati nilai ekonomi hasil laut karena sebagian besar komoditas diekspor.
Dandhy mencontohkan kebijakan ekspor benih lobster yang menurutnya merugikan nelayan. Benih lobster dijual dengan harga sekitar Rp5.000 per ekor, padahal dalam waktu tiga hingga empat bulan nilainya bisa meningkat hingga ratusan ribu rupiah.
“Benih lobster yang masih transparan itu dijual murah, padahal kalau dibesarkan sebentar saja nilainya bisa naik drastis. Tapi yang terjadi, kita justru membuka keran ekspor benih,” ujarnya.
Ia membandingkan kondisi tersebut dengan praktik kolonialisme masa lalu, ketika komoditas unggulan diekspor sementara masyarakat lokal hanya menikmati sisa atau kualitas rendah.
Dandhy menilai pola serupa masih terjadi hingga kini, baik di sektor kelautan maupun pertanian.
Menurutnya, persoalan tidak berhenti pada laut, tetapi juga terjadi di sektor agraria dan perkotaan. Petani kehilangan tanah, nelayan kehilangan akses, sementara masyarakat urban masih bergantung pada bahan baku impor seperti kapas.
“Ini bukan soal satu sektor, tapi soal sistem. Dari pertanian, kelautan, sampai industri, kita masih menghadapi masalah struktural yang sama,” tegasnya. (ke/blt)

