Artikel Feature
Beranda » Awal kisah Nabi Muhammad SAW, secercah harapan dari gurun pasir

Awal kisah Nabi Muhammad SAW, secercah harapan dari gurun pasir

Gurun pasir/unsplash.com/id/@gkumar2175

Sebelum cahaya Islam muncul, dunia Arab berada di masa yang disebut Jahiliyah, bukan hanya karena buta huruf, tapi karena kehilangan arah moral.

Mereka menyembah berhala, menilai perempuan rendah, dan perang suku dianggap kebanggaan.

Namun di tengah gurun yang gersang itulah, Allah menyiapkan lahirnya seorang manusia yang akan mengubah wajah sejarah: Muhammad bin Abdullah.

Menyusun puzzle HAM: Upaya KontraS merekam kebenaran peristiwa 1965

Mekah saat itu bukan kota besar, tapi menjadi pusat ziarah karena Ka’bah, rumah ibadah peninggalan Nabi Ibrahim.

Sayangnya, Ka’bah dikelilingi ratusan berhala, simbol betapa manusia telah mencampuradukkan ibadah dengan kebiasaan.

Namun di antara semua kekacauan itu, masih ada segelintir orang yang menjaga nilai-nilai luhur, di antaranya keluarga Bani Hasyim, tempat Muhammad kecil tumbuh.

Sejarah gelap 1965: Luka kolektif yang belum pulih dari Negara Indonesia

Ia lahir pada tahun Gajah, tahun ketika pasukan Abrahah gagal menyerang Ka’bah. Ibunya, Aminah, wafat saat ia masih kecil.

Ayahnya, Abdullah, meninggal sebelum ia lahir. Sejak kecil, Muhammad sudah mengenal arti kehilangan dan kesabaran.

Dibesarkan oleh kakeknya Abdul Muthalib, lalu pamannya Abu Thalib, Muhammad kecil dikenal jujur, tenang, dan tidak suka ikut-ikutan dalam tradisi penyembahan berhala.

Resensi Buku “Semangat Muda” Karya Tan Malaka (1926)

Warga Mekah menjulukinya Al-Amin, yang dipercaya. Ia bekerja menggembala kambing, lalu berdagang ke Syam.

Dalam dunia perdagangan yang penuh tipu muslihat, kejujurannya justru membuatnya dihormati.

Di usia 25 tahun, ia menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, seorang janda bangsawan yang terpikat oleh akhlaknya.

Sejarah hari ini: Membuka kembali 41 tahun tragedi berdarah Tanjung Priok

Pernikahan ini bukan hanya kisah cinta, tapi juga kemitraan dua jiwa yang sama-sama tulus. Dari rumah tangga ini, lahirlah ketenangan yang akan menjadi pondasi dakwah besar.

Cahaya di Gua Hira

Pada usia 40 tahun, ketika dunia di sekitarnya semakin gelap oleh penyembahan dan keserakahan, Muhammad mulai sering menyendiri di Gua Hira.

Ia merenungi alam, manusia, dan keadilan. Lalu, malam itu datanglah malaikat Jibril dengan satu kata yang mengguncang sejarah manusia: “Iqra’”, Bacalah.

Kata itu bukan sekadar perintah membaca teks, tapi membaca realitas, membaca diri, membaca kehidupan. Dari situlah wahyu turun, dan dari situlah dunia berubah.

Dakwah Nabi tidak dimulai dengan pedang, tapi dengan kata-kata lembut dan keteladanan. Ia mengajak keluarganya lebih dulu, lalu sahabat-sahabat terdekat.

Yang pertama percaya padanya adalah seorang perempuan (Khadijah), seorang anak (Ali), seorang sahabat (Abu Bakar), dan seorang budak (Zaid).

Empat sosok ini menggambarkan bahwa dakwah Islam lahir dari keberagaman manusia, bukan dari satu kelas sosial. Perlawanan datang keras, tapi Nabi tidak berhenti.

Ia tahu, setiap peradaban besar dimulai dengan satu kata kebenaran yang diucapkan di tengah keheningan kebohongan.

Sumber: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury

×