Artikel Opini

Akhir tragis R. Soemarsono, Bupati Blitar yang jadi simpatisan PKI

Ilustrasi Pendopo di Kabupaten Blitar.
Ilustrasi Pendopo di Kabupaten Blitar. (Foto: Bicarablitar.com)

Blitar – R. Soemarsono tercatat sebagai Bupati Blitar periode 1960–1965, pada masa di mana Blitar dikenal sebagai salah satu basis kuat Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kehadirannya di kursi pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari geliat politik nasional yang kala itu ditandai dengan meningkatnya pengaruh PKI di berbagai daerah, termasuk di Jawa Timur.

Di bawah kepemimpinannya, Blitar menjadi saksi suburnya organisasi massa yang berafiliasi dengan PKI seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, hingga Gerwani.

Sejarah Desa Sumberingin di Kabupaten Blitar

Kekuatan politik PKI memang menguat sejak Pemilu 1955, di mana partai tersebut memperoleh suara signifikan di Karesidenan Kediri, yang termasuk Blitar. Situasi ini memberikan ruang gerak bagi Soemarsono untuk memperluas pengaruhnya.

Namun di sisi lain, langkah tersebut justru menimbulkan ketegangan sosial. Organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan kelompok santri menentang keras aksi-aksi sepihak PKI, terutama terkait perebutan tanah yang sering kali disertai intimidasi terhadap tuan tanah.

Dalam situasi inilah, nama Soemarsono melekat sebagai figur bupati yang dituding melindungi aksi-aksi PKI di Blitar.

Mahasiswa STIT Al-Muslihuun Blitar gelar lomba Pildacil semarakkan HUT ke-80 RI di Karangrejo Garum 

Ketika peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI) meletus pada 1965, suasana politik berubah drastis. Gelombang perlawanan terhadap PKI muncul di berbagai daerah, termasuk di Blitar.

Salah satu momentum yang mempertegas perlawanan tersebut adalah Apel Akbar Banser di Blitar. Sekitar 10.000 anggota Banser memadati alun-alun dan jalan utama kota dengan membawa senjata tajam.

Kehadiran massa yang begitu besar dan tegas membuat nyali kader PKI menciut. Pegawai kantor yang diketahui sebagai anggota PKI tidak lagi berani masuk kerja, sementara guru-guru yang berafiliasi dengan PKI memilih berhenti mengajar.

Desa Binangun Blitar punya sejarah, begini ceritanya

Dalam situasi yang semakin terdesak, Soemarsono mencoba melarikan diri ke luar kota. Ia sadar posisinya sebagai bupati sekaligus simpatisan PKI menjadikannya target utama. Namun, pelariannya tidak bertahan lama.

Ia akhirnya tertangkap dan mengalami nasib tragis yakni dibantai oleh massa Banser yang kala itu menjadi garda terdepan perlawanan. Tragedi tersebut menutup perjalanan politik Soemarsono dengan akhir yang kelam, tanpa proses hukum dan pemakaman yang jelas.

Bukan hanya Soemarsono yang menjadi korban situasi politik tersebut. Ketua DPRD Blitar yang dikenal sebagai tokoh PKI juga ditangkap oleh aparat ABRI. Penangkapan ini semakin mempertegas runtuhnya dominasi PKI di Blitar.

Mari datang ke Candi Sumbernanas Ponggok Blitar

Roda pemerintahan yang semula dikuasai oleh tokoh-tokoh berhaluan kiri benar-benar kehilangan pijakan, digantikan oleh kekuatan negara bersama masyarakat yang berseberangan.

Setelah peristiwa itu, nama Soemarsono seperti terhapus dari catatan resmi. Situs pemerintah Kabupaten Blitar hanya mencantumkan masa jabatannya tanpa profil, foto, maupun keterangan mengenai kehidupannya.

Tidak ada makam yang bisa ditelusuri, tidak ada catatan yang diwariskan. Ia lenyap dari arsip publik, seakan hanya menjadi bayang-bayang dalam sejarah Blitar yang penuh konflik saat kejadian 1965 – 1968.

Tragedi ini kemudian berlanjut dengan operasi berskala nasional. Pada tahun 1968, pemerintah yang saat itu terjadi peralihan kekuasaan menggelar Operasi Trisula untuk menumpas sisa-sisa gerakan PKI di Blitar Selatan.

Desa-desa dijaga ketat, orang-orang yang terlibat ditangkap, dan Blitar menjadi salah satu titik keras penumpasan PKI.

Walaupun Soemarsono sudah dihabisi sebelumnya, operasi ini menjadi penanda sejarah Blitar adalah arena penting dalam pembasmian ideologi komunis dan pintu masuk pembantaian orang-orang yang dituduh komunis.

Setengah abad lebih kemudian, bayangan Soemarsono masih menggantung. Ia menjadi sosok yang tak sepenuhnya dikenang, tetapi juga tidak pernah benar-benar dilupakan.

Sejarah menjadikannya figur abu-abu antara bupati, simpatisan, dan korban dari sebuah pergulatan ideologi. (Blt)

×