Artikel Opini
Beranda » Akar ketegangan sebelum 1965, ketika politik menjadi medan perang ideologi menurut buku Dalih Pembunuhan Massal

Akar ketegangan sebelum 1965, ketika politik menjadi medan perang ideologi menurut buku Dalih Pembunuhan Massal

Buku Dalih Pembubuhan Massal yang ditulis John Roosa.

Jakarta – Jauh sebelum peluru ditembakkan dan tubuh-tubuh tak bernama dikubur di pinggir sungai, Indonesia sudah lama menyimpan bara dalam politiknya. Awal 1960-an bukan sekadar masa transisi, tapi ladang subur bagi ketegangan ideologi yang akhirnya meledak menjadi tragedi nasional.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut periode ini sebagai masa “pemasakan politik,” di mana benturan kepentingan antara militer, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kelompok nasionalis di sekitar Presiden Sukarno saling menguatkan, sampai satu pihak akhirnya menyalakan api yang membakar semuanya.

Setelah Pemilu 1955, Indonesia masuk ke era baru yang disebut Sukarno sebagai Demokrasi Terpimpin. Tujuannya: mengakhiri tarik-menarik antarpartai yang membuat pemerintahan tidak stabil. Tapi kenyataannya, sistem ini justru menumpuk kekuasaan di tangan presiden, sementara partai dan militer bersaing untuk mempertahankan pengaruh.

Memotret “Trilogi” Joshua Oppenheimer: Kisah kekerasan, ingatan & globalisasi

PKI, yang sempat dilarang pasca-pemberontakan Madiun 1948, berhasil bangkit dan menjadi partai besar dengan jutaan anggota. Mereka punya organisasi sayap di segala bidang: tani, buruh, perempuan, hingga seniman.

Di sisi lain, militer, khususnya Angkatan Darat, melihat kebangkitan PKI sebagai ancaman langsung terhadap posisi mereka. “Dua kekuatan ini bukan sekadar berbeda ideologi,” tulis laporan penelitian Dalih Pembunuhan Massal. “Mereka berlomba menguasai negara yang sama.”

Tahun 1965, ekonomi Indonesia morat-marit. Inflasi mencapai lebih dari 600 persen, harga kebutuhan pokok melonjak, dan rakyat hidup dalam ketidakpastian. Di tengah krisis itu, PKI memanfaatkan momentum dengan program-program populis: membela buruh, mendukung land reform, dan menuntut distribusi tanah.

Warisan ketakutan dan upaya memulihkan keadilan setelah Tragedi 1965

Sementara Angkatan Darat memosisikan diri sebagai penjaga stabilitas. Mereka menuduh kebijakan kiri Sukarno membuat negara “tergelincir ke jurang komunisme.” Ketegangan makin meningkat setelah muncul gagasan “Angkatan Kelima”, usulan PKI agar rakyat dipersenjatai seperti tentara.

Gagasan itu membuat militer geram. Dalam memo internal yang dikutip dalam laporan Dalih Pembunuhan Massal, beberapa perwira tinggi menyebut rencana itu “ancaman langsung terhadap struktur komando Angkatan Darat.”

Presiden Sukarno berusaha memainkan peran penengah. Ia membentuk konsep Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, sebagai dasar persatuan ideologis bangsa. Namun di lapangan, konsep ini sulit dijalankan.

Diamnya negara dalam mengusut Tragedi 1965, penyelidikan yang tak pernah tuntas

Nasakom hanya hidup di pidato dan dokumen, sementara di bawah, aparat militer dan simpatisan PKI sudah saling mengintai. Laporan Dalih Pembunuhan Massal mencatat bahwa intelijen militer sudah mulai menyusun daftar nama tokoh-tokoh PKI di daerah sejak awal 1965, jauh sebelum peristiwa G30S.

Artinya, bentrokan bukan muncul tiba-tiba, tapi hasil dari perencanaan dan ketegangan yang terus dipelihara.

Indonesia kala itu tidak berdiri sendiri. Dunia sedang terbagi dua antara Blok Barat (AS dan sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet dan Tiongkok). Sukarno berusaha bermain di tengah, tapi Washington menganggapnya condong ke Beijing.

Luka yang tak tercatat: Kekerasan seksual dan stigma sosial pasca Tragedi 1965

Dokumen deklasifikasi Amerika Serikat yang dikutip dalam laporan Dalih Pembunuhan Massal menunjukkan bahwa CIA secara aktif memantau perkembangan politik Indonesia sejak awal 1960-an, termasuk pergerakan PKI dan hubungan militer dengan Barat.

Kepentingan geopolitik itu membuat situasi domestik makin tegang. Setiap langkah politik di Jakarta selalu dibaca dalam konteks global, dan setiap konflik internal dianggap sebagai bagian dari pertarungan ideologi dunia.

Menjelang akhir September 1965, ketegangan mencapai puncaknya. Sukarno sakit, rumor kudeta beredar, dan kepercayaan antar-elite hancur. Di lapangan, aparat bersenjata sudah bersiaga, sementara organisasi rakyat di bawah PKI terus menggelar rapat dan demonstrasi.

Dalam situasi serapuh itu, hanya butuh satu percikan untuk menyalakan api besar. Dan percikan itu datang pada malam 30 September.

Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

Berita Terkait

×