Setelah Mekah berada di bawah kendali Nabi Muhammad SAW, situasinya belum otomatis aman. Menang perang tidak sama dengan menata masyarakat.
Masih ada banyak suku yang ragu, takut, atau menunggu arah angin. Langkah Nabi setelah kemenangan ini justru lebih berat daripada perangnya sendiri.
Hal pertama yang terlihat jelas adalah tidak adanya tindakan balasan massal. Tokoh-tokoh Quraisy yang dulu memusuhi Nabi tetap hidup berdampingan dengan kaum Muslimin.
Beberapa memang diberi pengawasan, tapi tidak dihabisi. Keputusan ini penting karena Mekah adalah pusat sosial dan ekonomi Jazirah Arab. Kalau Nabi memilih kekerasan, konflik antarsuku bisa meledak lagi kapan saja.
Setelah berhala dibersihkan, Ka’bah kembali menjadi pusat ibadah tauhid. Namun Nabi tidak mengubah struktur sosial Mekah secara mendadak. Pengelolaan haji tetap melibatkan masyarakat setempat. Ini menunjukkan bahwa perubahan dilakukan bertahap, bukan dengan paksaan total.
Menghadapi Suku-suku di Luar Mekah
Setelah Mekah stabil, perhatian Nabi beralih ke luar kota. Beberapa suku memilih datang dan berdamai. Sebagian lain masih mencoba menguji kekuatan Islam. Terjadilah beberapa ekspedisi dan perjanjian, termasuk Perang Hunain dan pengepungan Thaif.Dalam peristiwa ini, umat Islam sempat lengah karena merasa jumlah mereka besar.
Hasilnya: kekacauan di awal pertempuran. Dari sini terlihat satu hal: jumlah besar tidak menjamin kesiapan mental.
Setelah situasi terkendali, Nabi membagi harta rampasan perang. Pembagiannya tidak sama rata. Beberapa tokoh Quraisy yang baru masuk Islam justru mendapat bagian lebih besar.
Sebagian sahabat lama merasa heran. Namun Nabi menjelaskan bahwa langkah ini untuk menenangkan kelompok yang imannya belum kuat. Ini bukan soal pilih kasih, tapi soal menjaga stabilitas sosial.
Islam Menyebar Lewat Relasi, Bukan Tekanan
Setelah Mekah dikuasai, banyak kabilah datang sendiri ke Madinah. Mereka tidak datang sebagai tawanan, tapi sebagai pihak yang ingin mengenal Islam. Periode ini dikenal sebagai Tahun Delegasi, ketika Islam menyebar lewat dialog dan perjanjian. Perang bukan lagi alat utama.
Periode ini menunjukkan bahwa:
- mengelola kemenangan lebih sulit daripada meraihnya
- perubahan sosial butuh kesabaran, bukan pemaksaan
- pemimpin harus memahami psikologi kelompok, bukan hanya aturan
- Nabi tidak memaksakan keseragaman.
Beliau mengutamakan stabilitas dan keadilan.
Sumber: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury

