Oleh: Mohammad Ahsin Muadib
Ketua PMII Rayon UNU Blitar (2022-2023)
Pengurus PMII PK UNU Blitar (2024-2025)
Ketua PAC IPNU Garum (2025-Sekarang)
Wakil Sekretaris Bidang Kaderisasi di PC IPNU Kabupaten Blitar (Sekarang)
Saya masih ingat betul, hari ketika pertama kali mengenal IPNU. Saat itu saya hanyalah seorang pelajar biasa belum tahu apa-apa tentang organisasi, apalagi perjuangan. Saya datang hanya karena ajakan teman, dengan rasa penasaran yang polos dan tanpa harapan besar.
Tapi siapa sangka, langkah kecil itu justru menjadi awal dari perjalanan panjang yang mengubah cara saya memandang hidup, pengabdian, dan arti menjadi manusia yang berguna.
Di IPNU, saya belajar arti menjadi pelajar sejati bukan hanya pandai di kelas, tapi juga punya tanggung jawab sosial. Dari forum-forum kecil, dari rapat yang sederhana, dari kegiatan yang kadang melelahkan tapi penuh makna. Di sanalah saya pertama kali memahami bagaimana setiap hal kecil bisa menjadi ladang pahala, bagaimana setiap senyum, kerja, dan niat tulus bisa berarti besar bagi orang lain.
IPNU mengajarkan saya satu hal yang tidak pernah saya lupa bahwa berjuang tidak selalu harus tampak gagah di depan. Kadang perjuangan itu sunyi-sesunyi orang yang menata kursi sebelum acara dimulai, atau mereka yang pulang paling akhir setelah semuanya selesai.
Dari sanalah saya belajar makna maqolah “Khoirunnas anfa’uhum linnas” bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kalimat itu saya bawa hingga kini, sebagai kompas kecil dalam hati.
Lambat laun, IPNU menjadi rumah kedua saya. Tempat saya tumbuh, tempat saya belajar mengalahkan ego dan tempat saya belajar arti tanggung jawab. Dari ranting hingga saya dipercaya menjadi Ketua PAC IPNU Kecamatan Garum, dan kini diberi amanah sebagai Wakil Sekretaris Bidang Kaderisasi di PC IPNU Kabupaten Blitar.
Setiap amanah bukan sekadar jabatan, tapi cermin kepercayaan, sekaligus ujian bagi keikhlasan. Kemudian, waktu membawa saya ke dunia kampus.
Di sana, takdir mempertemukan saya dengan PMII. Awalnya saya pikir pengalaman di IPNU sudah cukup. Tapi ternyata, PMII membuka bab baru dalam hidup saya.
Ruangnya lebih luas, tantangannya lebih berat dan pikirannya lebih tajam. PMII mengajarkan saya untuk tidak hanya bergerak, tapi juga berpikir bahwa menjadi kader bukan sekadar loyalitas, tapi juga soal nalar, nilai dan keberanian berpihak pada kebenaran.
Diskusi panjang hingga larut malam, dinamika organisasi yang kadang panas, hingga perdebatan tentang ide dan gerakan semuanya melatih saya menjadi manusia yang lebih dewasa. Di PMII saya belajar bahwa perjuangan bukan hanya tentang siapa yang paling keras bersuara, tapi siapa yang paling tulus bertahan.
Dulu saya hanya tahu cara berkhidmah. Kini saya belajar bagaimana berjuang dengan pikiran dan hati yang matang. IPNU mengajarkan saya mengabdi dengan hati.
PMII mengajarkan saya berjuang dengan nalar dan gerakan. Dua organisasi itu yaitu IPNU dan PMII telah membentuk saya menjadi pribadi yang tidak hanya ingin menjadi baik untuk diri sendiri, tapi juga bermanfaat bagi sesama.
Kini, ketika saya menatap ke belakang, saya hanya bisa tersenyum. Bukan karena saya merasa hebat, tapi karena saya bersyukur pernah menapaki jalan ini.
Saya bukan lagi pelajar polos seperti dulu, tapi seseorang yang membawa nilai-nilai perjuangan di setiap langkah hidupnya.
Menjadi kader, saya sadar, bukan tentang gelar. Bukan tentang jabatan. Bukan pula tentang seberapa sering nama kita disebut dalam forum.
Menjadi kader adalah tentang bagaimana kita tetap setia menjaga semangat perjuangan, bahkan ketika tidak ada yang memperhatikan. Tentang bagaimana kita tetap membawa nilai Aswaja dalam hidup, meski dunia sering kali berjalan ke arah yang tidak kita duga.
Saya mungkin tidak tahu ke mana jalan ini akan membawa saya nanti. Tapi satu hal yang pasti bahwa di setiap langkah, saya akan terus membawa semangat itu semangat kader IPNU dan PMII.
Semangat untuk terus berkhidmah, belajar, berjuang dan bertaqwa. Karena di balik semua ini, saya tahu satu hal bahwa perjuangan yang tulus tak pernah benar-benar selesai.
Ia hanya berganti bentuk dari langkah, menjadi teladan dari suara, menjadi doa; dari jabatan, menjadi pengabdian yang tak terlihat tapi selalu hidup di hati.

