Blitar – Ketua Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Blitar, M. Riski Fadila, mengecam keras keputusan pemerintah yang memberikan gelar Pahlawan Nasional tahun 2025 kepada sosok yang diduga terlibat dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Ia menilai kebijakan tersebut merupakan kemunduran moral sekaligus penodaan terhadap nilai kepahlawanan sejati.
Menurut Riski, momentum Hari Pahlawan yang seharusnya menjadi refleksi perjuangan bangsa justru berubah menjadi ironi sejarah.
Ia menilai keputusan tersebut mengabaikan prinsip dasar seorang pahlawan, yaitu menjunjung tinggi kemanusiaan, menegakkan keadilan, dan menjaga integritas moral dalam perjuangan.
“Ketika seseorang yang diduga kuat terlibat dalam pelanggaran HAM di era Orde Baru disejajarkan dengan korban pelanggaran HAM seperti almarhumah Marsinah, maka ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan pengkhianatan terhadap nurani bangsa,” tegasnya.
Ia menyoroti Surat Sekretaris Militer Presiden Nomor R-28/KSN/SM/GT.02.00/11/2025 tertanggal 6 November 2025 yang memuat sepuluh nama penerima gelar Pahlawan Nasional.
Menurutnya, keputusan tersebut menimbulkan kegelisahan publik dan memicu perdebatan di kalangan akademisi serta aktivis HAM.
Riski menduga bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemutihan sejarah (historical whitewashing) demi kepentingan politik dan legitimasi kekuasaan.
Ia menilai tindakan semacam itu dapat menghapus jejak luka masa lalu tanpa memberikan keadilan bagi para korban.
“Pemerintah tampak merancang penganugerahan gelar ini dengan cara yang begitu mudah tanpa menimbang rekam jejak dan nilai moral calon penerima. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap memori kolektif bangsa yang masih menyimpan luka dari masa tirani kekuasaan,” ujarnya.
Riski menegaskan, PMII Blitar menolak lupa terhadap sejarah kelam bangsa, terutama terhadap korban penindasan yang hingga kini belum memperoleh keadilan.
Ia mendesak agar pemerintah meninjau ulang bahkan membatalkan keputusan penganugerahan tersebut.
“Jika gelar pahlawan diberikan kepada mereka yang tangannya berlumur dosa kemanusiaan, maka arti kepahlawanan itu sendiri telah kehilangan maknanya. Seorang pelanggar HAM tidak mungkin merepresentasikan nilai keadilan dan kemanusiaan yang menjadi dasar berdirinya Republik ini,” pungkasnya. (blt)

