Semakin hari, tekanan Quraisy terhadap kaum Muslimin makin tak tertahankan. Rumah-rumah pengikut Nabi dilempari, perdagangan mereka diboikot, sebagian disiksa di depan umum untuk dijadikan contoh.
Di tengah penderitaan itu, Nabi Muhammad SAW melihat bahwa iman butuh tempat bernafas dan saat itulah muncul gagasan pertama untuk hijrah. “Di seberang laut ada negeri yang diperintah oleh raja yang adil,” sabdanya. “Di sana tidak ada yang dizalimi.”
Negeri itu adalah Habasyah, yang kini dikenal sebagai Ethiopia. Sebuah kerajaan Kristen yang diperintah oleh raja saleh bernama Najasyi (Negus). Keputusan untuk hijrah bukanlah pelarian, tapi langkah strategis untuk menyelamatkan keyakinan.
Sekelompok kecil Muslim, 11 laki-laki dan 4 perempuan, menjadi rombongan pertama yang menyeberang Laut Merah menuju Habasyah.
Mereka meninggalkan rumah, harta, bahkan sebagian keluarga, hanya untuk mempertahankan iman. Di antara mereka ada Utsman bin Affan dan istrinya Ruqayyah binti Rasulullah SAW.
Perjalanan itu penuh risiko. Jika tertangkap di tengah laut, mereka bisa dibunuh atau dipaksa murtad. Tapi Allah menjaga mereka.
Kapten kapal yang mereka tumpangi bersimpati, dan dengan pertolongan-Nya mereka tiba di negeri yang damai. Untuk pertama kalinya sejak dakwah dimulai, kaum Muslimin bisa salat dengan tenang, tanpa caci maki, tanpa ancaman.
Ketika mengetahui ada sekelompok Muslim yang berhasil melarikan diri, Quraisy murka. Mereka mengirim dua utusan cerdas, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, untuk meminta Raja Najasyi mengekstradisi para pengungsi.
Keduanya membawa hadiah besar: kain sutra, perhiasan, dan permata, berharap bisa membeli keputusan sang raja.
“Wahai Raja,” kata Amr bin Ash dengan diplomasi yang manis, “mereka adalah anak-anak muda yang meninggalkan agama nenek moyang mereka.
Mereka telah membuat kekacauan di negeri kami dan membawa ajaran baru. Kami mohon agar mereka dikembalikan.”
Kaum Muslim pun dihadirkan ke istana. Mereka memilih Ja’far bin Abi Thalib, sepupu Nabi, untuk menjadi juru bicara.
Dengan suara tenang tapi mantap, Ja’far berkata: “Wahai Raja, kami dahulu hidup dalam kejahiliyahan, menyembah berhala, memakan bangkai, menzalimi yang lemah. Lalu Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami sendiri.
Ia mengajarkan kami untuk menyembah Allah semata, berkata jujur, menunaikan amanah, dan berbuat baik kepada sesama.” Najasyi mendengarkan dengan wajah berubah lembut.
Ketika Ja’far membacakan potongan ayat dari surat Maryam tentang kelahiran Isa Al-Masih, air mata mengalir di pipi sang raja dan para pendetanya. “Ayat ini dan yang dibawa oleh Isa berasal dari sumber yang sama,” kata Najasyi.
Ia menolak permintaan Quraisy dan melindungi kaum Muslim. Hijrah ke Habasyah adalah peristiwa penting: itu adalah perlindungan politik pertama bagi kaum Muslimin.
Islam untuk pertama kalinya diterima oleh pemimpin non-Muslim yang adil dan berakal. Najasyi bukan hanya memberi izin tinggal, tapi juga memastikan mereka aman dari segala gangguan.
Beberapa tahun kemudian, sebagian besar dari mereka kembali ke Mekah ketika mendengar kabar bahwa keadaan sudah membaik, kabar yang ternyata palsu.
Namun peristiwa itu membuktikan satu hal: bahwa perjuangan iman bukan hanya soal keberanian melawan, tapi juga kebijaksanaan untuk mundur demi bertahan.
Hijrah ke Habasyah bukan sekadar kisah sejarah, tapi pelajaran hidup. Kadang, mempertahankan kebenaran berarti berani meninggalkan kenyamanan.
Bukan untuk lari, tapi untuk mencari ruang agar kebenaran bisa terus tumbuh. “Hijrah pertama adalah latihan sabar,” tulis Syaikh Mubarakfury, “dan Allah menjadikannya jalan bagi kemenangan dakwah di kemudian hari.”
Sumber: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury

