Artikel Opini
Beranda » Kebingungan, bukan konspirasi: Logika Ben Anderson & McVey soal Tragedi 1965

Kebingungan, bukan konspirasi: Logika Ben Anderson & McVey soal Tragedi 1965

Para anggota Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) dijaga oleh para tentara dalam perjalanan mereka dengan truk bak terbuka ke penjara pada tanggal 30 Oktober 1965. (Dok. YKPP 1965)

Jakarta – Dunia suka cerita sederhana: ada dalang, ada pengkhianat, ada pahlawan. Itu sebabnya versi resmi negara tentang Gerakan 30 September begitu cepat diterima, karena ia menawarkan keteraturan di tengah kekacauan.

Tapi bagi Benedict Anderson dan Ruth McVey, penjelasan semacam itu justru terlalu rapi untuk dipercaya. Dalam Cornell Paper, mereka menulis dengan nada dingin: “Tidak ada tanda bahwa peristiwa 30 September adalah hasil rencana besar. Yang ada hanyalah serangkaian tindakan kecil yang kehilangan arah sejak awal.”

Negara mengatakan: PKI merencanakan kudeta, melatih pasukan, dan hampir merebut kekuasaan. Anderson dan McVey membalik seluruh logika itu. Bagi mereka, G30S justru menunjukkan ketiadaan perencanaan dan kendali.

Militer Indonesia dari struktur, loyalitas, dan ketegangan internal dalam Tragedi 1965

Operasi yang gagal menembak sebagian besar targetnya, pasukan yang bingung harus ke mana, dan pemimpin yang tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah “kemenangan” semua itu lebih menyerupai kekacauan mendadak ketimbang strategi revolusioner.

“Jika ini kudeta, maka ini kudeta yang paling ceroboh dalam sejarah modern,” tulis Cornell Paper.

Setelah peristiwa itu, militer bergerak cepat menyusun narasi yang berlawanan total: bahwa semua sudah direncanakan PKI selama berbulan-bulan, bahwa Soekarno tahu tapi diam, dan bahwa hanya tindakan heroik Suharto yang menyelamatkan bangsa.

Jawa Tengah: Medan politik yang menentukan dalam Tragedi 1965

Ben Anderson dan McVey membaca langkah itu bukan sebagai pencarian kebenaran, tapi upaya menciptakan mitos keteraturan. Bangsa yang baru lepas dari revolusi dan ketidakpastian ekonomi butuh cerita yang mudah dicerna: satu musuh, satu penyelamat, satu versi sejarah.

“Narasi resmi adalah kebutuhan psikologis negara muda yang takut pada ketidakteraturan,” tulis mereka. Namun dengan menciptakan versi tunggal, negara menutup semua ruang untuk memahami kekacauan yang sesungguhnya melahirkan tragedi.

Ben Anderson dan McVey berpendapat bahwa akar tragedi 1965 justru terletak pada struktur komunikasi negara yang sudah lama kacau. Setiap institusi, militer, PKI, birokrasi, bahkan presiden, hidup di dalam gelembungnya sendiri, tidak percaya pada informasi di luar lingkarannya.

Soekarno yang berada di tengah badai dalam Tragedi 1965

Ketika rumor “Dewan Jenderal” muncul, tidak ada yang mencoba memverifikasi; semua pihak bereaksi berdasarkan ketakutan masing-masing. Dalam situasi seperti itu, kebohongan kecil bisa memicu ledakan nasional.

“Negara tanpa komunikasi adalah negara yang menunggu salah paham pertamanya untuk menjadi tragedi.”

Menurut Anderson dan McVey, yang paling menakutkan dari G30S bukanlah kekejamannya, tapi kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang benar-benar mengendalikannya.

PKI dan kecurigaan yang didesain dalam Tragedi 1965

PKI tidak siap, militer terpecah, Soekarno kehilangan arah, dan masyarakat terseret arus propaganda. Kekacauan itu membuka jalan bagi satu figur yang memahami logika kekosongan: Suharto.

Ia tidak perlu membuat rencana besar; ia hanya perlu hadir di saat semua orang bingung. “Kudeta sejati bukan yang direncanakan, melainkan yang dijalankan oleh orang yang paling tenang ketika orang lain kehilangan arah.”

Ben Anderson dan McVey menulis bahwa bangsa Indonesia pada 1965 sedang berada di persimpangan antara revolusi dan birokrasi, antara emosi kolektif dan logika negara modern.

Ketika dua dunia itu bertabrakan, hasilnya bukan persekongkolan, tapi amukan sosial tanpa pusat. Itulah sebabnya mereka menyebut tragedi itu bukan sebagai hasil perencanaan jahat, tapi produk dari sistem yang sudah lama gagal memahami dirinya sendiri.

“Yang terjadi bukanlah pengkhianatan terhadap negara,” tulis mereka,
“tetapi negara yang mengkhianati akalnya sendiri.”

Selama Orde Baru, analisis seperti ini dikubur hidup-hidup. Kebingungan dianggap ancaman; konspirasi dianggap patriotik. Padahal, bagi Anderson dan McVey, hanya dengan mengakui kekacauan, bangsa bisa belajar mencegahnya terulang.

Mereka menutup laporan dengan kalimat yang tetap relevan enam dekade kemudian: “Kebingungan adalah bagian dari sejarah. Bahayanya dimulai ketika seseorang mencoba menulisnya ulang menjadi kepastian.”

Sumber: Dokumen “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict Anderson dan Ruth McVey ini (Cornell Paper)

×