Jakarta – Pembunuhan massal 1965 tidak akan sebesar itu jika dilakukan oleh militer saja. Fakta yang ditemukan dalam laporan Dalih Pembunuhan Massal menunjukkan bahwa operasi penumpasan terhadap anggota dan simpatisan PKI dilakukan melalui kolaborasi sistematis antara aparat militer dan kelompok sipil, yang dipersenjatai dan diarahkan langsung oleh komando daerah.
Koordinasi ini bukan spontanitas massa. Ia adalah hasil dari desain kekuasaan, cara negara mengubah sebagian rakyat menjadi alat pembunuhan negara. Setelah Soeharto mengambil alih kendali Angkatan Darat, strategi keamanan berubah drastis.
Alih-alih mengumumkan operasi militer resmi, aparat justru mendorong partisipasi kelompok masyarakat untuk “menumpas komunis.” Kebijakan ini memberi dua keuntungan bagi militer: beban operasional berkurang, dan tanggung jawab hukum kabur.
Komnas HAM menyebut langkah ini sebagai “delegasi kekerasan.” Negara menyerahkan tugas kotor kepada massa, lalu bersembunyi di balik klaim bahwa kekerasan itu adalah ekspresi kemarahan rakyat. “Rakyat diarahkan, bukan digerakkan secara alami,” tulis laporan Dalih Pembunuhan Massal.
Di berbagai daerah, militer merekrut dan melatih kelompok sipil, mulai dari pemuda desa hingga anggota organisasi keagamaan. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang paling aktif adalah Banser dan Pemuda Ansor, dua organisasi di bawah Nahdlatul Ulama (NU).
Di Sumatera Utara, peran itu diambil alih oleh Pemuda Pancasila dan organisasi nasionalis. Sementara di Bali, aparat lokal bekerja sama dengan pecalang dan kepala banjar dalam eksekusi massal.
Militer memberi mereka pelatihan dasar, senjata tajam, dan, yang lebih penting, narasi moral: bahwa menumpas komunis adalah bentuk jihad atau pengabdian kepada negara.
Pidato, khutbah, dan spanduk propaganda disebar untuk memastikan tidak ada keraguan dalam hati para pelaku. Laporan Dalih Pembunuhan Massal mencatat kesaksian saksi di Kediri yang menyebut:
“Sebelum pembunuhan, kami dikumpulkan oleh tentara. Mereka bilang, membunuh PKI sama dengan membela Pancasila.”
Setelah dilatih, kelompok-kelompok ini berfungsi sebagai milisi lokal yang mengidentifikasi dan menangkap orang-orang yang dicurigai simpatisan PKI. Mereka bekerja sama dengan aparat desa, kepala dusun, dan tokoh agama setempat.
Begitu seseorang dituduh “komunis,” milisi akan membawa mereka ke pos militer atau tempat interogasi, lalu ke lokasi eksekusi. Sebagian besar korban tidak pernah diadili; bahkan tidak tahu tuduhannya secara pasti.
Keterangan dari daerah Blitar Selatan, yang tercatat dalam Dalih Pembunuhan Massal, menggambarkan situasi brutal itu: “Kami dikumpulkan di balai desa. Malam itu, beberapa orang dibawa keluar, dan esok paginya hanya tersisa lubang besar di belakang sawah.”
Peran tokoh agama dalam tragedi ini sangat menonjol. Di banyak daerah, mereka menjadi juru kampanye pembasmian “komunis kafir.” Sermon dan khutbah di masjid mengaitkan pembunuhan dengan pembelaan terhadap agama.
Laporan Dalih Pembunuhan Massal mencatat bahwa di sebagian wilayah Jawa Timur, aparat militer secara aktif bekerja sama dengan ulama setempat untuk “menerjemahkan” operasi penumpasan dalam bahasa agama.
“Agama digunakan sebagai pelumas ideologis bagi kekerasan,” tulis laporan itu. “Pembunuhan menjadi suci karena dibungkus dengan makna ibadah.”
Walau kelompok sipil tampak mendominasi di lapangan, kendali tetap berada di tangan militer. Mereka mengatur logistik, menentukan target, dan memantau hasil. Sementara para pelaku sipil dijadikan tameng politik, wajah “rakyat” yang seolah bertindak spontan.
Laporan Dalih Pembunuhan Massal menunjukkan bahwa di banyak daerah, operasi pembunuhan hanya berhenti setelah komando militer pusat memerintahkan penghentian. Ini menegaskan bahwa seluruh aksi kekerasan berlangsung dalam struktur kontrol yang disiplin.
“Negara menciptakan kekerasan, lalu menyebutnya reaksi rakyat,” tulis laporan itu. “Itulah kebohongan yang paling tahan lama.”
Yang paling tragis, strategi kolaboratif ini meninggalkan luka sosial yang tak sembuh hingga kini. Pembunuhan 1965 bukan hanya memisahkan negara dan rakyat, tapi juga membelah masyarakat sendiri.
Tetangga membunuh tetangga, guru melaporkan murid, anak mengkhianati ayah.
Di banyak desa, hubungan sosial yang hancur itu tidak pernah pulih. Selama puluhan tahun, keluarga korban dianggap “tidak bersih lingkungan” dan dihindari oleh masyarakat yang dulu ikut menganiaya mereka.
Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

