Artikel Opini
Beranda » Diamnya negara dalam mengusut Tragedi 1965, penyelidikan yang tak pernah tuntas

Diamnya negara dalam mengusut Tragedi 1965, penyelidikan yang tak pernah tuntas

Bedjo Untung, Ketua YPKP'65. (Dok. YPKP 1965)

Jakarta – Enam dekade berlalu, tapi negara masih membisu. Laporan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965–1966 sudah rampung sejak 2012.

Dokumen setebal hampir seribu halaman itu berisi bukti, kesaksian, dan kesimpulan bahwa negara, melalui aparat militernya, terlibat langsung dalam pembunuhan massal, penahanan tanpa hukum, serta penyiksaan sistematis terhadap warga sipil.

Namun hingga kini, laporan itu belum pernah ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Yang terjadi justru berulang: surat bolak-balik, klarifikasi, dan pertemuan formal yang tak berujung.

Luka yang tak tercatat: Kekerasan seksual dan stigma sosial pasca Tragedi 1965

Dalam istilah Komnas HAM sendiri, kasus 1965 terperangkap dalam “lingkaran impunitas” situasi di mana negara tahu, tapi memilih tidak bertindak.

Komnas HAM menyerahkan laporan hasil penyelidikan pro justisia ke Kejaksaan Agung pada Juli 2012. Laporan itu menegaskan bahwa kejahatan 1965 memenuhi unsur pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Namun Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti dengan alasan “bukti belum cukup” dan “perlu penyelidikan ulang.”

Gelombang pembunuhan pasca Tragedi 1965: Negara dan kekerasan sistematis

Padahal, Komnas HAM sudah melakukan pendalaman selama bertahun-tahun, memeriksa lebih dari 300 saksi di 10 provinsi, dan mengumpulkan data dari arsip militer, media, serta kesaksian langsung para korban.

“Tidak ada itikad politik yang nyata dari pemerintah,” kata Komnas HAM dalam pernyataan resminya saat itu. “Negara lebih sibuk menjaga citra daripada menegakkan kebenaran.”

Kebuntuan hukum ini bukan semata soal birokrasi. Komnas HAM menilai, ada keengganan politik untuk membuka kembali luka lama yang bisa mengguncang legitimasi institusi negara, terutama militer.

Api 1965: Awal Tragedi Nasional yang berujung hilangnya nyawa banyak manusia

Sejak reformasi 1998, pemerintah silih berganti menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, tapi tak satu pun berakhir di pengadilan. Dari tragedi 1965 hingga Wasior, Wamena, dan Talangsari, semuanya berhenti di titik yang sama: Kejaksaan Agung.

Dalam beberapa kesempatan, pejabat negara justru memilih menyebut tragedi 1965 sebagai “urusan sejarah,” bukan urusan hukum. Sebuah pernyataan yang bagi korban terdengar seperti penolakan untuk diakui sebagai manusia.

“Kalau peristiwa ini dianggap sejarah, maka kami hanya kenangan. Padahal kami masih hidup,” ujar seorang penyintas di Yogyakarta kepada tim Komnas HAM.

Membedah Tragedi Oktober 1965, ketika sejarah resmi tak cukup menjelaskan

Laporan Komnas HAM 2012 sebenarnya memberikan empat rekomendasi utama:

  • Penyelidikan hukum lanjutan oleh Kejaksaan Agung untuk membawa kasus ke pengadilan HAM ad hoc.
  • Pembentukan mekanisme kebenaran dan rekonsiliasi nasional yang melibatkan korban dan masyarakat sipil.
  • Pemulihan hak korban, termasuk penghapusan stigma sosial dan pemberian kompensasi.

Pendidikan publik dan revisi narasi sejarah nasional, agar tragedi ini diakui secara jujur di ruang pendidikan dan kebijakan negara.

Namun tidak satu pun rekomendasi itu dijalankan secara tuntas.

Komnas HAM sudah mengirim sedikitnya empat kali surat resmi ke Kejaksaan Agung, terakhir pada 2022, tapi jawaban yang datang tetap sama: “Masih dikaji.”

Pemerintah beberapa kali mencoba menawarkan pendekatan non-yudisial, seperti pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) pada 2022.

Tim ini menghasilkan 12 rekomendasi, di antaranya permintaan maaf publik dan rencana pemulihan sosial bagi korban.

Namun banyak pihak, termasuk Komnas HAM sendiri, menilai pendekatan ini tidak menyentuh akar persoalan hukum. “Permintaan maaf tidak cukup tanpa kebenaran dan pertanggungjawaban,” tulis Komnas HAM dalam tanggapannya.

Bagi para korban, janji tanpa tindakan hanya memperpanjang trauma. “Negara bilang mau minta maaf, tapi kami tidak pernah diajak bicara,” kata salah satu penyintas di Bali. “Kami ini masih dianggap bahaya, bahkan setelah enam puluh tahun.”

Selama kasus ini tidak masuk ke ranah hukum, para pelaku akan terus menikmati impunitas. Banyak di antara mereka sudah meninggal, tapi sistem yang mereka bangun masih hidup: sistem yang menormalisasi kekerasan atas nama ideologi.

Komnas HAM memperingatkan, impunitas adalah racun bagi demokrasi. Ia menegaskan bahwa negara tidak akan pernah sehat jika terus menolak bertanggung jawab atas darah yang tumpah di masa lalu.

Sumber: Dokumen Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966

×