Artikel Opini
Beranda » Luka yang tak tercatat: Kekerasan seksual dan stigma sosial pasca Tragedi 1965

Luka yang tak tercatat: Kekerasan seksual dan stigma sosial pasca Tragedi 1965

Dok. YKKP 1965

Jakarta – Di tengah kekerasan massal pasca-1965, ada luka lain yang jarang dibicarakan. Luka yang sunyi, yang tidak tercatat dalam statistik kematian, tapi menempel seumur hidup di tubuh dan ingatan para perempuan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut kekerasan seksual dalam tragedi 1965 sebagai bentuk pelanggaran HAM berat yang terencana dan sistematis.

Ribuan perempuan menjadi korban, diperkosa, dilecehkan, dipaksa melayani aparat, bahkan dijadikan “tumbal pengakuan” untuk menuduh suami atau keluarganya terlibat PKI.

Gelombang pembunuhan pasca Tragedi 1965: Negara dan kekerasan sistematis

Komnas HAM dalam laporannya menegaskan, kekerasan terhadap perempuan pada masa itu bukan tindakan acak, melainkan bagian dari mekanisme penghinaan politik. Tubuh perempuan dijadikan alat untuk mengintimidasi, mempermalukan, dan menghancurkan harga diri keluarga yang dicap “komunis.”

Banyak korban ditangkap hanya karena menjadi istri, anak, atau saudara dari orang yang dituduh anggota PKI. Mereka ditahan di barak-barak militer, diinterogasi berulang, dan dipaksa “melayani” aparat agar bisa bertahan hidup.

Seorang penyintas di Jawa Tengah, dikutip dalam laporan itu, berkata pelan, “Kami tidak tahu salah kami apa. Mereka hanya bilang, kami harus menebus dosa suami.”

Api 1965: Awal Tragedi Nasional yang berujung hilangnya nyawa banyak manusia

Kekerasan terhadap perempuan juga diperkuat oleh propaganda negara. Organisasi perempuan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), yang semula aktif dalam bidang pendidikan dan sosial, dijadikan kambing hitam dan dilabeli “biadab”.

Film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI yang wajib ditonton selama era Orde Baru menampilkan perempuan Gerwani sebagai pelaku penyiksaan terhadap jenderal, narasi yang hingga kini tak pernah terbukti secara ilmiah.

Komnas HAM mencatat, propaganda itu menjadi dasar pembenaran moral bagi kekerasan seksual terhadap perempuan yang dituduh anggota Gerwani. Mereka diperkosa, dicukur rambutnya, dipermalukan di depan umum, dan dijadikan tontonan di lapangan.

Membedah Tragedi Oktober 1965, ketika sejarah resmi tak cukup menjelaskan

“Gerwani dijadikan simbol penghinaan, bukan karena apa yang mereka lakukan, tapi karena mereka perempuan yang berani,” tulis laporan tersebut.

Bagi banyak perempuan, siksaan tidak berhenti di ruang interogasi. Mereka kemudian dikirim ke kamp-kamp tahanan seperti Plantungan di Jawa Tengah atau Pulau Buru di Maluku. Di sana, mereka bekerja paksa membuka lahan, menanam sayur, atau menjahit seragam tentara di bawah pengawasan bersenjata.

Keseharian mereka diwarnai ancaman, kelaparan, dan pelecehan yang terus-menerus. Beberapa melahirkan anak di penjara tanpa bantuan medis, sebagian meninggal tanpa pernah tercatat namanya.

Tragedi 1965 jadi warisan luka dan tanggung jawab sejarah Indonesia yang belum sembuh

“Plantungan menjadi simbol kekerasan berlapis terhadap perempuan—tahanan politik, buruh paksa, sekaligus korban pelecehan seksual,” tulis Komnas HAM.

Setelah dibebaskan, penderitaan para korban tidak berhenti. Masyarakat menolak menerima mereka kembali, aparat desa melarang mereka ikut kegiatan sosial, dan anak-anak mereka dijauhkan dari sekolah serta pekerjaan negeri.

Cap “eks-tapol” di KTP menjadi semacam hukuman sosial permanen. Perempuan yang pernah ditahan sering kali memilih menyembunyikan masa lalunya. Banyak di antara mereka hidup dalam kemiskinan, sendirian, dan tanpa akses ke layanan kesehatan.

“Lebih baik mati daripada bicara,” kata salah satu penyintas kepada tim Komnas HAM. “Kalau orang tahu masa laluku, aku bisa kehilangan semuanya.”

Kekerasan seksual dalam tragedi 1965 tidak hanya meninggalkan luka fisik, tapi juga trauma lintas generasi. Anak-anak korban tumbuh dalam keluarga yang tak pernah berani membicarakan masa lalu. Bagi mereka, diam adalah cara bertahan.

Komnas HAM menilai bahwa negara gagal total dalam memenuhi hak korban perempuan atas pemulihan dan pengakuan. Tidak ada upaya rehabilitasi, permintaan maaf, atau layanan psikososial yang layak.

Hingga kini, tidak satu pun pelaku kekerasan seksual 1965 diadili. Laporan Komnas HAM yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung sejak 2012 tidak pernah ditindaklanjuti. Kasusnya mengendap di tumpukan arsip negara.

Sumber: Dokumen Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966

×