Artikel Opini
Beranda » Warisan Orde Baru adalah propaganda yang masih hidup dan revisi yang selalu gagal

Warisan Orde Baru adalah propaganda yang masih hidup dan revisi yang selalu gagal

KUBURAN MASSAL: Lokasi Kuburan Massal korban Genosida 1965 lainnya di kawasan Hutan Salam Jatirogo Tuban. [Foto: Humas YPKP 65]

Jakarta – Orde Baru resmi tumbang pada 1998, tapi ideologinya tidak ikut jatuh. Ia bersembunyi di kurikulum sekolah, pidato pejabat, dan televisi yang masih memutar narasi tunggal: PKI dalang, militer penyelamat, rakyat berhutang budi.

Setengah abad lewat, propaganda itu belum mati, hanya berganti wajah. Laporan Dalih Pembunuhan Massal menyebut, warisan paling berbahaya dari rezim Soeharto bukanlah kekerasan, melainkan keyakinan nasional bahwa kekerasan bisa dibenarkan.

Sejak reformasi, kurikulum sejarah Indonesia sudah direvisi berkali-kali. Namun setiap revisi berhenti di tempat yang sama: di batas yang tidak boleh disentuh. Peristiwa 1965 masih diajarkan sebagai “pemberontakan G30S/PKI,” tanpa konteks politik, tanpa korban, tanpa pelaku negara.

Pasca Tragedi 1965: Mengingat di tengah ancaman perlawanan kultural dan ruang publik pasca-orde baru

Buku pelajaran generasi baru memang sudah menghapus foto jenderal yang terbunuh atau adegan sadis dari film propaganda, tapi substansinya tak berubah. PKI tetap digambarkan sebagai sumber kekacauan; militer tetap pahlawan penyelamat bangsa.

“Anak-anak belajar sejarah seperti membaca doa wajib, tanpa boleh bertanya,” tulis laporan itu.

Upaya akademisi untuk menulis ulang sejarah berdasarkan data lapangan sering ditolak oleh penerbit atau kementerian pendidikan. Kurikulum disaring oleh “pertimbangan keamanan nasional,” istilah halus untuk sensor ideologis.

Menggugat negara dalam Tragedi 1965, upaya hukum dan tanggung jawab yang tak kunjung datang

Di tingkat politik, “bahaya laten komunis” masih menjadi alat yang ampuh. Setiap kali isu 1965 dibicarakan, sejumlah kelompok langsung menuduh adanya “kebangkitan PKI.”

Istilah itu digunakan bukan karena ancamannya nyata, tapi karena efeknya masih bekerja. Pada masa pemilu, spanduk bertuliskan “Waspada Kebangkitan PKI” sering bermunculan, dipakai untuk menyerang lawan politik atau membungkam kritik terhadap militer.

Kebohongan Orde Baru berubah fungsi: dari alat kontrol menjadi alat kampanye.“Ketakutan itu seperti saham politik,” tulis Dalih Pembunuhan Massal. “Nilainya naik setiap kali kebenaran mulai dibicarakan.”

Mencari kebenaran Tragedi 1965, kuburan massal, penelusuran, dan pertarungan dengan negara

Televisi nasional, terutama menjelang akhir September, masih menayangkan dokumenter versi militer tentang G30S. Film propaganda yang dulu wajib tonton kadang muncul kembali, dibungkus dengan embel-embel “edukasi sejarah.”

Pejabat publik bahkan ada yang secara terbuka menyerukan agar film itu diwajibkan lagi untuk pelajar. Di ruang daring, ratusan akun anonim menyebarkan teori konspirasi tentang “rencana kebangkitan komunis.” Mereka mengulang narasi lama, kadang dengan gaya baru: menyamakan gerakan HAM, feminisme, atau aktivisme lingkungan dengan “infiltrasi ideologi kiri.”

Negara mungkin tidak lagi secara langsung memerintah propaganda, tapi membiarkannya tumbuh. Dalam politik ketakutan, pembiaran adalah bentuk dukungan.

Tragedi 1965, luka yang diturunkan: Ingatan, trauma, dan perjuangan generasi baru

Orde Baru jatuh, tapi militer tidak pernah benar-benar mundur dari panggung sipil. Banyak pensiunan perwira masih mengisi posisi politik, duduk di parlemen, bahkan memimpin lembaga publik. Beberapa masih membawa wacana lama tentang “bahaya laten PKI” untuk memperkuat legitimasi moral mereka.

Di tingkat daerah, aparat keamanan masih memiliki pengaruh kuat dalam pengawasan kegiatan masyarakat. Diskusi tentang sejarah, pemutaran film, atau penelitian tentang 1965 tetap bisa dibubarkan tanpa dasar hukum, cukup dengan alasan “mengancam ketertiban.”

“Reformasi mengganti seragam, bukan sistem,” tulis laporan itu.

Setiap upaya serius untuk merevisi narasi resmi selalu kandas di dua tembok: birokrasi dan ketakutan publik. Para pejabat pendidikan takut dianggap simpatisan PKI, penerbit takut kehilangan izin, dan sebagian masyarakat masih menganggap pembicaraan tentang 1965 sebagai dosa nasional.

Kebohongan yang diulang selama tiga dekade telah menjadi kebenaran versi negara. Mereka yang mencoba memperbaikinya dianggap mengganggu stabilitas. “Kebenaran di negeri ini,” tulis Dalih Pembunuhan Massal, “bukan soal fakta, tapi soal siapa yang boleh berbicara.”

Indonesia hari ini suka menyebut dirinya demokratis, tapi demokrasi yang takut pada masa lalunya sendiri hanyalah kulit. Negara masih memilih diam, dan masyarakat masih terbelah antara ingin tahu dan ingin lupa.

Film, buku, atau diskusi tentang 1965 masih butuh keberanian ekstra untuk muncul. Sementara pelaku kekerasan atau keturunannya masih bisa berbicara di televisi dengan gelar “pahlawan.” “Selama kebenaran masih dianggap ancaman, reformasi hanyalah jeda, bukan perubahan,” tutup laporan itu.

Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

Berita Terkait

×