Blitar – Kebijakan baru Pemerintah Kabupaten Blitar tentang tata kelola tambang Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) sejak 1 Juli 2025 memunculkan beragam reaksi.
Salah satunya datang dari Ketua PMII Komisariat Madjapahit Universitas Islam Balitar, Alex Cahyono yang menyoroti aspek ketimpangan struktural, etika lingkungan serta potensi penyimpangan birokratis dari kebijakan tersebut.
Dari total 10 pos pengawasan yang didirikan, sembilan pos ditempatkan di wilayah utara Kabupaten Blitar yang notabene menjadi pusat aktivitas tambang pasir dan batu (sirtu).
Hanya satu pos ditempatkan di wilayah selatan untuk komoditas clay, bentonit dan andesit. Baginya ini menunjukkan orientasi kebijakan yang berat sebelah dengan aspek ekonomi dikedepankan, sementara etika ekologis ditanggalkan.
“Alam bukan sekadar objek pajak. Dalam etika lingkungan, manusia punya tanggung jawab moral terhadap lingkungan, bukan mengeksploitasinya demi angka PAD di laporan tahunan,” ujar Alex dalam pernyataannya, Jumat, 4 Juli 2025.
Menurut Alex, etika lingkungan mengajarkan keseimbangan antara kepentingan manusia dan keberlanjutan alam. Namun, sistem pos pengawasan tambang yang tidak disertai evaluasi ekologis yang ketat, justru berisiko melanggengkan praktik ekstraktif yang merusak lingkungan Kabupaten Blitar.
“Padahal prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam tata kelola sumber daya alam sudah seharusnya menjadi dasar. Kenapa kita mendirikan pos untuk truk, tapi tidak pernah mendirikan pos untuk memantau debit air tanah, longsor atau kerusakan jalan?”.
Alex juga mengingatkan bahwa kerusakan ekologis bukan hanya masalah teknis, tapi etis. Jika pemkab hanya fokus pada pelaporan STP (Surat Tanda Pengambilan) dan besaran pajak, tanpa kontrol atas dampak ekologis dan sosial, maka kebijakan ini rentan menjadi alat pembenaran eksploitasi.
Dalam konteks pelaksanaan, Alex menyoroti bahaya serius dari keberadaan pos pengawasan yang tidak disertai dengan transparansi dan pengawasan independen. Ia menyebut bahwa pos-pos tersebut justru berisiko menjadi titik transaksi gelap dan pungutan liar apabila hanya dikontrol oleh oknum birokrat.
“Tanpa pengawasan masyarakat sipil, pos bisa menjadi tempat ‘cuci bersih’ untuk hasil tambang ilegal. Bahkan, bisa dijadikan ladang baru bagi aparat yang tidak berintegritas,” tegasnya.
Ia meminta agar Pemkab Blitar tidak alergi terhadap keterlibatan publik, terutama dari kalangan mahasiswa, akademisi dan organisasi advokasi lingkungan dalam mengawal implementasi kebijakan tersebut. Menurutnya, kolaborasi etis dan ekologis harus hadir dalam setiap tahapan pengambilan keputusan dan pengawasan lapangan.
Di sisi lain, Alex juga mengkritik paradigma pembangunan daerah yang cenderung menjadikan tambang sebagai tumpuan utama PAD. Padahal, sektor ini dikenal sebagai penyumbang besar kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial.
“Kalau pemerintah masih mengandalkan tambang sebagai penyelamat PAD, itu berarti kita miskin inovasi pembangunan. Harusnya kita sudah bergerak ke arah ekonomi hijau, pariwisata budaya dan pertanian lestari,” tuturnya.
Ia menyebut bahwa ketergantungan terhadap sektor tambang juga berisiko menciptakan konflik horizontal di masyarakat, terutama ketika tambang-tambang ini mulai bersinggungan dengan lahan pertanian rakyat atau kawasan konservasi.