Artikel Opini
Beranda » Sistem penahanan dan kamp tahanan pasca Tragedi 1965: Di Pulau Buru, Plantungan, dan pulau-pulau sunyi

Sistem penahanan dan kamp tahanan pasca Tragedi 1965: Di Pulau Buru, Plantungan, dan pulau-pulau sunyi

Kartun anti-komunis yang dipublikasikan di media massa Api pada Oktober 1965. (Foto: API)

Jakarta – Setelah gelombang pembunuhan massal mereda, kekerasan tidak berhenti. Ia hanya berganti bentuk dari pembantaian terbuka menjadi penahanan diam-diam yang berlangsung puluhan tahun.

Ratusan ribu orang yang dituduh terlibat atau bersimpati pada PKI dikurung tanpa pengadilan, disebar ke berbagai penjara dan kamp kerja paksa.

Laporan Dalih Pembunuhan Massal menyebut sistem ini sebagai “penyiksaan yang dilembagakan” cara negara menyingkirkan orang tanpa harus menembak mereka.

Penyiksaan dan kekerasan seksual pasca Tragedi 1965, saat tubuh dijadikan medan politik

Setelah operasi militer 1965, ribuan orang ditangkap di seluruh Indonesia. Sebagian besar tidak pernah diperiksa secara hukum. Tak ada surat penangkapan, tak ada dakwaan resmi. Mereka hanya “diamankan” atas perintah militer dan kemudian ditahan selama bertahun-tahun di lokasi-lokasi terpencil.

Komando operasi, lewat Kopkamtib, membagi tahanan dalam beberapa kategori:

  • Kategori A: dianggap terlibat langsung dengan G30S; banyak yang dieksekusi.
  • Kategori B: dianggap anggota PKI atau organisasi afiliasi; ditahan tanpa batas waktu.
  • Kategori C: simpatisan atau orang yang hanya berhubungan sosial dengan mereka yang dituduh; diawasi seumur hidup.

Menurut Dalih Pembunuhan Massal, sekitar 1,7 juta orang pernah mengalami penahanan dengan sistem ini, sebagian ditahan lebih dari satu dekade tanpa pengadilan.

Militer dan milisi dalam Tragedi 1965, kolaborasi untuk “pembersihan”

Plantungan

Salah satu lokasi paling terkenal adalah Plantungan, di Jawa Tengah. Bekas rumah sakit Belanda itu diubah menjadi penjara khusus perempuan “kategori B” kebanyakan istri atau anggota organisasi wanita yang dianggap terkait PKI, seperti Gerwani.

Mereka dikurung tanpa proses hukum, banyak yang berusia lanjut atau memiliki anak kecil. Laporan Dalih Pembunuhan Massal mencatat kesaksian seorang mantan tahanan: “Kami tidak tahu kapan bisa keluar. Kami menanam sayur sendiri, menjahit pakaian, dan menunggu hari yang tak pernah datang.”

Ada struktur komando dan wilayah operasi: Dari Jawa ke Sumatera dan Bali pada Tragedi 1965

Di Plantungan, para perempuan dipaksa bekerja di kebun, sementara nama mereka dihapus dari dokumen sipil. Mereka kehilangan hak menikah, hak memiliki pekerjaan, bahkan hak untuk diingat.

“Negara memperlakukan perempuan ini bukan sebagai manusia, tapi sebagai simbol dosa politik,” tulis laporan tersebut.

Pulau Buru: Dari Surga Tropis ke Kamp Kerja Paksa

Ada instruksi dari puncak pada Tragedi 1965: Bagaimana perintah pembunuhan menyebar

Kamp tahanan terbesar berada di Pulau Buru, Maluku. Antara 1969 hingga 1979, sekitar 12.000 tahanan politik dikirim ke sana, sebagian besar laki-laki kategori B.

Mereka disebut “tapol” (tahanan politik), tapi pada praktiknya hidup seperti budak. Buru dibagi menjadi beberapa unit yang disebut Unit Pembangunan. Tiap unit menampung ratusan tahanan yang dipaksa membuka hutan, menanam padi, dan membangun permukiman di bawah pengawasan militer.

Kondisi di sana keras dan mematikan: malaria, kelaparan, penyiksaan. Banyak tahanan meninggal dan dikubur tanpa nama di hutan. Seorang tapol yang dikutip dalam Dalih Pembunuhan Massal menceritakan:

“Kami membangun sawah untuk negara, tapi tidak pernah makan hasilnya. Kami menanam, lalu penjaga yang panen.”

Pulau Buru kemudian dijadikan simbol kesenyapan. Negara menyebutnya proyek rehabilitasi. Para tahanan menyebutnya neraka yang dirancang dengan jadwal kerja.

Pengawasan dan Pelaporan Seumur Hidup

Bagi yang selamat dan dibebaskan, kebebasan hanyalah kata formal. Setelah keluar dari kamp, mereka tetap diwajibkan lapor rutin ke kantor militer atau polisi, tidak boleh pindah kota, dan tidak boleh bekerja di sektor publik. KTP mereka diberi tanda khusus “ET” (eks-tapol), stempel sosial yang mengunci hidup mereka dalam stigma.

“Pengawasan ini membuat mantan tahanan tidak pernah benar-benar bebas,” tulis laporan Dalih Pembunuhan Massal. “Kekerasan berlanjut dalam bentuk administrasi.”

Pulau-pulau Lain, Cerita yang Sama

Selain Buru dan Plantungan, penahanan juga dilakukan di berbagai tempat lain:

Nusakambangan, yang terkenal dengan sel bawah tanahnya; Lapas Cipinang dan Bukit Duri, tempat banyak tahanan politik awal ditumpuk; serta kamp kecil di Flores, Sulawesi, dan Kalimantan.

Di semua tempat itu, pola yang sama berlaku: kerja paksa, indoktrinasi, dan penanaman rasa bersalah kolektif. Kamp-kamp tahanan itu kini banyak yang berubah fungsi, sebagian menjadi sekolah, sebagian dibiarkan runtuh. Tapi ingatan para penyintas tetap hidup.

Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

×