Blitar – Pada dekade 1960-an, Blitar khususnya wilayah Blitar Selatan menjadi salah satu basis penting bagi perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang mayoritas hidup sebagai petani kecil dengan kepemilikan lahan terbatas membuat gagasan PKI lebih mudah diterima.
Dukungan itu tercermin dari hasil pemilu 1955 di Keresidenan Kediri, di mana PKI meraih sekitar 457.000 suara, melampaui PNI dengan 455.000 suara, NU dengan 366.000 suara, serta Masyumi yang hanya memperoleh 155.000 suara.
Keberhasilan tersebut tidak lepas dari digerakkannya sayap-sayap organisasi partai, seperti Pemuda Rakyat, BTI, SOBSI, dan Lekra, yang secara aktif melakukan gerakan turun ke bawah untuk mendekati rakyat dan mengakar di lapisan masyarakat bawah.
Situasi yang demikian di wilayah Blitar, membuat isu tanah dan kesejahteraan petani menjadi titik sentral bagi gerakan PKI. Dukungan massa di Blitar cukup kuat, sehingga wilayah ini kemudian dikenal sebagai salah satu basis penting PKI di Jawa Timur sebelum peristiwa G30S 1965.
Beberapa tokoh lokal tercatat sebagai penggerak aktivitas PKI di Blitar. Sudarso (sering disebut Darso), seorang pimpinan Barisan Tani Indonesia (BTI) cabang Blitar, aktif dalam kampanye reforma agraria dan aksi-aksi massa petani.
Selain itu, ada juga figur Sumari dan Suprapto, kader muda PKI yang dikenal sering turun ke desa-desa untuk mengorganisir buruh tani.
Belum lagi ada Putmainah yang merupakan salah satu tokoh Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) di Blitar. Ia dikenal sebagai Ketua Gerwani Kabupaten Blitar sekaligus anggota DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) Fraksi PKI.
Nama-nama ini tidak seterkenal tokoh nasional seperti Aidit, tetapi peran mereka sangat menentukan dalam menghubungkan ideologi partai dengan realitas pedesaan di Blitar Selatan.
Program utama PKI di Blitar, terutama di desa-desa Blitar Selatan, banyak terkait dengan isu agraria. Melalui BTI, mereka mengkampanyekan pembagian tanah kepada petani tak bertanah, sesuai amanat Undang-undang Pokok Agraria 1960.
Selain itu, PKI aktif membuka kelas buta huruf untuk warga desa yang mayoritas tidak tersentuh pendidikan, serta mendirikan kelompok kesenian rakyat seperti ketoprak, ludruk, dan kerap menggelar wayang kulit yang disisipi pesan-pesan perjuangan sosial.
Pertunjukan itu menampilkan cerita tentang ketidakadilan sosial, penindasan, dan perjuangan rakyat kecil melawan “tuan tanah” atau “penindas”. Bagi masyarakat yang sebagian besar tidak mengenyam pendidikan, pesan ini lebih mudah diterima.
Kegiatan gotong royong membangun jalan desa, membantu panen, hingga arisan kolektif juga menjadi sarana PKI mempererat hubungan dengan masyarakat.
Wilayah Blitar Selatan, yang secara geografis relatif terpencil dan dikelilingi perbukitan, menjadi lokasi strategis bagi aktivitas PKI. Di sini, para kader lebih leluasa mengembangkan jaringan politik tanpa pengawasan ketat.
Basis-basis desa di Kecamatan Wates, Sutojayan, dan Kademangan tercatat sebagai tempat di mana simpatisan partai menguat. Ketika situasi politik nasional semakin memanas menjelang 1965, Blitar Selatan menjadi salah satu pusat konsolidasi organisasi massa PKI.
Namun, menguatnya PKI di Blitar juga menimbulkan ketegangan dengan kelompok agama, khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki basis pesantren di Blitar.
Konflik sering terjadi ketika BTI mengkampanyekan perebutan tanah yang dianggap “terlantar” atau “tidak produktif”, sementara lahan tersebut sesungguhnya dimiliki oleh tokoh agama atau pesantren.
Beberapa laporan menyebut adanya adu fisik di desa-desa ketika petani anggota BTI mencoba menggarap lahan yang status kepemilikannya masih diperdebatkan.
Selain soal tanah, PKI juga kerap berhadapan dengan organisasi keagamaan dalam hal kegiatan sosial dan politik desa. Di beberapa tempat, kegiatan Pemuda Rakyat atau Gerwani yang bersifat hiburan dianggap “berlawanan nilai” dengan tradisi pesantren.
Ketegangan sosial ini kemudian meluas menjadi polarisasi politik, di mana satu desa bisa terbelah antara pendukung PKI dan kelompok keagamaan. Meskipun tidak selalu berujung bentrokan fisik, suasana saling curiga sudah terasa sejak awal 1960-an.
Menjelang 1965, ketegangan politik nasional juga tercermin dalam kehidupan desa di Blitar. Dukungan terhadap PKI cukup kuat, tetapi resistensi dari kelompok agama juga semakin mengeras. Aktivitas PKI di Blitar sebelum G30S memperlihatkan dinamika yang kompleks.
Di satu sisi, program-program mereka menyentuh kebutuhan masyarakat desa yaitu tanah, pendidikan serta solidaritas sosial. Di sisi lain, persinggungan dengan kelompok agama menimbulkan ketegangan yang tidak bisa dihindari.
Kehadiran tokoh lokal penggerak PKI memperkuat basis massa partai, terutama di Blitar Selatan. Namun, kenyataan sosial yang terpolarisasi membuat wilayah ini juga rentan terhadap konflik ketika situasi politik nasional mencapai titik krisis pada tahun 1965.

