Blitar – Desa Panggungrejo menyimpan kisah sejarah yang lekat dengan legenda Mbah Gadung Melati, sosok yang dipercaya sebagai pendiri wilayah tersebut.
Awal mula desa ini berasal dari sebuah padukuhan bernama Panggung Dolok, yang kini berkembang menjadi Desa Panggungrejo.
Sekitar akhir abad ke-18, setelah berakhirnya Perang Kesultanan Mataram—konflik besar antara Pangeran Diponegorodan penjajah Belanda—banyak pengikut sang pangeran memilih melarikan diri demi menghindari kejaran tentara kolonial.
Salah satu pelarian itu adalah Pangeran Gadung Melati, yang konon masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Majapahit. Ia bergerak ke arah timur dan menetap di kawasan hutan di sekitar Gunung Kendeng.
Di lereng selatan Gunung Kendeng, Pangeran Gadung Melati bersama dua sahabatnya, Mbah Jahet dan Mbah Sutol, membangun tempat tinggal dari kayu jati—dikenal sebagai “kayu dolok”.
Karena wilayah itu masih dihuni oleh harimau liar, rumah-rumah tersebut didirikan dalam bentuk panggung untuk menghindari bahaya. Dari sinilah asal mula nama Panggung Dolok, yang berarti rumah panggung dari kayu Dolok.
Lambat laun, semakin banyak pengikut yang bergabung dan wilayah hutan tersebut dibuka menjadi lahan permukiman dan pertanian. Sekitar tahun 1881, kawasan ini mulai berkembang sebagai komunitas kecil.
Kemudian pada tahun 1891, kawasan ini diresmikan menjadi desa dengan nama Desa Panggung Dolok dan dipimpin oleh Lurah Djontono. Seiring waktu dan pertambahan penduduk, nama desa pun diubah menjadi Desa Panggungrejo.
Nama baru tersebut mengandung makna: “Panggung” sebagai simbol dataran tinggi dan “Rejo” berarti ramai atau makmur—menggambarkan harapan agar desa ini terus tumbuh meskipun berada di wilayah perbukitan.
Sampai sekarang, makam Pangeran Gadung Melati dan kedua sahabatnya masih dijaga dan dihormati oleh warga. Lokasi tersebut kerap dikunjungi masyarakat untuk berziarah dan memanjatkan doa. (Blt)