Jakarta – Upaya mengungkap kembali tragedi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) 1965 bukan pekerjaan ringan. Setelah puluhan tahun pemerintah tak juga menuntaskan kasus itu, masyarakat sipil memilih turun tangan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama International Centre for Transitional Justice (ICTJ) mengambil langkah nyata: mendokumentasikan kembali kisah para korban dan saksi peristiwa kelam itu.
Laporan bertajuk “Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965” menjadi salah satu catatan penting yang dihasilkan dari kerja kolaboratif ini. Tujuannya sederhana tapi krusial, menghimpun bukti, kesaksian, dan data korban agar sejarah kekerasan negara terhadap warga sipil tidak terkubur oleh waktu.
“Dokumentasi ini kami susun untuk membangun dasar pengungkapan kebenaran, karena negara belum juga melakukannya,” kata Haris Azhar, salah satu penyusun laporan, dalam pengantar publikasi itu pada 2012.
Dua Wilayah, Satu Luka yang Sama
Tim pendokumentasian KontraS menelusuri dua wilayah dengan kisah yang kontras tapi serupa dalam penderitaan: Blitar, Jawa Timur, dan Buton, Sulawesi Tenggara.
Blitar dipilih karena wilayah selatan kota ini dulu dikenal sebagai basis kuat Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 1969, operasi militer “Trisula” dilakukan untuk menumpas mereka yang dituduh simpatisan PKI.
Ratusan orang dibunuh, ribuan lainnya ditahan tanpa proses hukum. Banyak di antaranya hilang tanpa jejak hingga kini.
Sementara di Buton, kisahnya lebih sunyi. Belum banyak catatan tentang kekerasan pasca-1965 di wilayah itu. Pendokumentasian yang dilakukan tim KontraS mengungkap cerita warga yang dulu dituduh sebagai anggota atau pendukung PKI.
Mereka disiksa, dipaksa bekerja tanpa upah, dan hidup di bawah pengawasan militer selama bertahun-tahun.
Salah satu contoh paling mencolok terjadi di Desa Todombulu, Kecamatan Sampolawa. Ketika tim KontraS mencoba mendatangi desa itu pada 2011, penduduk justru melarikan diri ke kebun karena trauma masa lalu belum benar-benar hilang.
“Mereka takut ditanya-tanya dan dikaitkan lagi dengan PKI,” tulis laporan tersebut.
Dari Arsip ke Sistem Digital
Untuk menjaga keakuratan dan keberlanjutan data, KontraS menggunakan sistem digital bernama Openevsys, perangkat lunak terbuka yang memungkinkan pencatatan dan analisis kasus pelanggaran HAM.
Sistem ini digunakan untuk menyimpan kesaksian, dokumen, serta data korban secara aman dan terstruktur.
Langkah ini bukan sekadar upaya administratif. Pendokumentasian digital dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa, memastikan data korban tak lagi bergantung pada ingatan lisan yang bisa hilang bersama waktu.
Selain itu, KontraS melibatkan para penyintas dalam setiap tahap, dari pengumpulan kesaksian hingga verifikasi data.
“Kami ingin memastikan bahwa korban menjadi subjek, bukan sekadar objek penelitian,” ujar salah satu anggota tim lapangan dalam laporan tersebut.
Menghadapi Waktu dan Ketakutan
Tantangan terbesar dalam proses ini adalah trauma dan ketakutan korban. Banyak di antara mereka menolak diwawancarai karena pengalaman pahit masa lalu. Beberapa sudah meninggal dunia, sebagian lainnya pikun dan tak lagi mengingat detail peristiwa.
Kendala itu tak menyurutkan langkah tim. Melalui pendekatan personal dan kerja sama dengan lembaga bantuan hukum lokal, KontraS berhasil mengumpulkan data dari puluhan korban dan saksi di dua wilayah tersebut.
Hasil pendokumentasian ini diharapkan menjadi bahan dasar bagi Komnas HAM dan pemerintah untuk melanjutkan penyelidikan pro justisia. Namun hingga kini, laporan itu masih belum direspons serius oleh negara.
Sumber: KontraS – Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965: Sebuah Upaya Pendokumentasian


 
                     
             
             
             
             
             
             
             
             
             
            