Artikel Opini

Membaca ulang aliran hukum nasional (bagian I): Teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. (Dok. Pribadi)

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. dikenal sebagai salah satu pemikir hukum paling berpengaruh di Indonesia.

Lahir di Bandung, 17 Februari 1929 – Wafat, 6 Juni 2021, ia merupakan guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang berhasil memadukan pemikiran hukum dengan realitas sosial. Pandangannya menempatkan hukum bukan sekadar aturan tertulis, tetapi sebagai alat perubahan menuju tatanan masyarakat yang lebih tertib.

Selain berperan di dunia akademik, Mochtar juga memiliki rekam jejak penting dalam pemerintahan. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman (1974-1978) serta Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (1978-1988).

Sejarah gelap 1965: Luka kolektif yang belum pulih dari Negara Indonesia

Dari pengalaman tersebut lahirlah gagasan besar yang dikenal sebagai Teori Hukum Pembangunan, sebuah konsep yang menegaskan peran hukum sebagai sarana utama dalam proses pembangunan nasional.

Pemikiran hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kontribusi besar Mochtar Kusumaatmadja. Tokoh ini memperkenalkan gagasan penting mengenai Teori Hukum Pembangunan saat menjadi pembicara dalam Seminar Hukum Nasional tahun 1973.

Gagasan tersebut lahir dari kesadaran bahwa hukum tidak sekadar perangkat normatif, melainkan instrumen strategis bagi arah pembangunan bangsa. Ketika menjabat sebagai Menteri Kehakiman, pemikiran itu memperoleh legitimasi kuat karena diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan nasional melalui Pelita periode 1970-1975.

Mahasiswa kehabisan energi dan akal: 5 cara tetap waras lewat olahraga di tengah tugas yang gggak ada ujungnya

Mochtar memandang hukum bukan hanya sistem aturan, tetapi sarana pengendali perubahan sosial agar masyarakat dapat berkembang secara teratur. Ia menolak perubahan yang bersandar pada kekerasan.

Baginya, transformasi sosial harus lahir dari proses yang tertata melalui perangkat hukum yang hidup dalam kesadaran masyarakat. Perundang-undangan maupun keputusan pengadilan berfungsi sebagai mekanisme yang memastikan perubahan berjalan sesuai jalur pembangunan nasional.

Dalam konstruksi teorinya, Mochtar menempatkan hukum sebagai alat utama mencapai keseimbangan antara ketertiban dan pembaruan. Pembangunan tidak mungkin berlangsung tanpa kepastian hukum. Sebaliknya, hukum kehilangan makna jika tidak mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat yang terus bergerak. Oleh karena itu, hukum harus berfungsi ganda yakni menjaga keteraturan serta memfasilitasi perubahan.

Ramai mesin brebet usai isi BBM, pengendara waspadai dampak etanol yang tak sesuai standar

Hukum yang baik, menurut Mochtar, bukanlah hukum yang kaku pada teks, melainkan hukum yang mencerminkan nilai sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Konsep the living law menjadi acuan utama agar regulasi tetap relevan dengan dinamika kehidupan rakyat. Di titik inilah, hukum harus hadir sebagai cermin dari nilai moral, budaya serta aspirasi sosial bangsa.

Namun, hukum tidak akan memiliki daya guna tanpa kekuasaan yang menegakkannya. Mochtar menegaskan, kekuasaan hanya sah apabila berjalan dalam koridor hukum. Kekuasaan tanpa kendali hukum akan melahirkan penyimpangan, sedangkan hukum tanpa kekuasaan hanya menjadi teks tanpa nyawa. Sinergi keduanya menjadi fondasi utama dalam mewujudkan tatanan pembangunan yang berkeadilan.

Hukum menurutnya harus memperlihatkan bagaimana hukum dapat berperan sebagai motor perubahan, bukan sekadar pelengkap administrasi negara. Pandangan tersebut menegaskan posisi hukum sebagai pilar utama pembangunan nasional yang berorientasi pada kemajuan sekaligus ketertiban sosial.

FIFA dan AFC bungkam soal dugaan kejanggalan round 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026

Inti dari aliran ini adalah hukum selalu bergerak seiring dengan kehidupan masyarakat. Pemikiran ini menjadi dasar utama pandangan Mochtar Kusumaatmadja. Ia menolak asumsi Friedrich Carl von Savigny yang menyebut hukum cenderung tertinggal dari perkembangan sosial.

Bagi Mochtar hukum bukan warisan statis, melainkan refleksi hidup dari nilai yang tumbuh di tengah masyarakat. Pandangan tersebut memiliki kesamaan dengan aliran Sociological Jurisprudence yang menilai bahwa perkembangan hukum dapat tercermin melalui putusan pengadilan. Putusan tersebut dianggap merepresentasikan nilai-nilai kebenaran yang diakui dan diterima oleh masyarakat tempat hukum itu hidup.

Dalam konteks sistem hukum Indonesia, Mochtar melihat bahwa pembentukan hukum tidak hanya dapat diwujudkan melalui yurisprudensi, tetapi juga melalui peraturan perundang-undangan. Ia memahami bahwa sejarah hukum Indonesia menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum utama.

Namun, kondisi ini menimbulkan persoalan serius karena setiap undang-undang sering kali lahir dari kepentingan politik tertentu. Di sinilah relevansi pemikiran John Rawls menemukan tempatnya.

Rawls menyatakan bahwa keadilan yang dihasilkan hukum harus berlandaskan prinsip fairness, yaitu keadilan yang berakar pada nilai-nilai politik yang rasional, bukan pada doktrin moral atau keagamaan. Pandangan ini memperkuat gagasan Mochtar bahwa hukum harus menjamin keadilan yang inklusif dan tidak memihak kekuasaan.

Mochtar kemudian menegaskan bahwa hukum tidak boleh hanya menjadi alat untuk mengendalikan pembangunan. Ia memandang hukum sebagai sarana strategis yang mengarahkan pembangunan agar berlangsung tertib dan manusiawi. Hukum akan berfungsi efektif apabila mencerminkan nilai yang hidup di tengah masyarakat.

Meski demikian, kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa pengaruh partai politik dalam proses legislasi sering kali lebih kuat dibandingkan aspirasi rakyat. Kondisi ini menjadikan peran yurisprudensi semakin penting karena melalui putusan pengadilan, hukum dapat kembali pada fungsinya sebagai sarana pembaruan sosial yang berkeadilan.

Mochtar menolak pemisahan antara kepastian hukum dan keadilan. Baginya, kedua unsur tersebut harus saling melengkapi. Kepastian hukum tidak boleh mengorbankan rasa keadilan, sedangkan keadilan tidak boleh disusun semata berdasarkan kehendak penguasa.

Teori Hukum Pembangunan yang dirumuskannya menggabungkan unsur dari tiga aliran besar pemikiran hukum, yaitu analytical jurisprudence, sociological jurisprudence serta pragmatic legal realism.

Sinergi antara ketiganya menunjukkan bahwa pembangunan hukum nasional hanya dapat terwujud melalui proses legislatif yang rasional atau melalui putusan pengadilan yang merefleksikan nilai-nilai sosial. Kedua jalur tersebut menjadi sarana aktualisasi hukum yang hidup, berfungsi serta berakar pada kebutuhan masyarakat. (Blt)

×