Blitar – Pengesahan RKUHAP menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada 18 November 2025 lalu awalnya diharapkan menjadi angin segar bagi masyarakat. Publik menanti lahirnya pembaruan hukum yang mampu meninggalkan KUHAP lama tahun 1981, produk kolonial yang sudah lama dinilai tidak relevan.
Semestinya, pembaruan itu menjadi tonggak untuk memperkuat keadilan, perlindungan hak warga negara serta kontrol kekuasaan yang lebih berimbang.
Namun harapan itu terasa jauh panggang dari api. Ketua PC PMII Blitar, M. Riski Fadila, menilai produk hukum yang disahkan DPR justru menampilkan wajah yang mengkhawatirkan. Di tengah tuntutan memperkuat hak asasi dan mencegah kesewenang-wenangan, KUHAP baru justru memuat pasal-pasal kontroversial bahkan “pasal karet” yang dapat menjadi pintu masuk praktik pembungkaman, kriminalisasi serta penyalahgunaan wewenang aparat.
Menurut Riski, pembaruan hukum tidak boleh berhenti pada urusan prosedural. “Hukum itu mestinya perisai rakyat,” tegasnya. “Bukan senjata kekuasaan yang dipoles rapi untuk menekan kritik.” Ia melihat bahwa sejumlah pasal yang muncul dalam KUHAP baru justru berpotensi mengamputasi kontrol yudisial yang seharusnya menjadi penyangga utama negara hukum.
Salah satu yang paling disorot Riski adalah Pasal 5 ayat (2). Pasal ini memberi kewenangan penyelidik untuk melakukan berbagai upaya paksa mulai dari menangkap, menggeledah, menahan, hingga mengambil sidik jari meskipun prosesnya masih dalam tahap penyelidikan ketika dugaan tindak pidana belum jelas.
Bagi Riski, pasal ini adalah “senjata tanpa pengamanan.” Tanpa batasan ketat, siapa pun yang kritis terhadap pemerintah atau aparat dapat diperlakukan sebagai tersangka sejak awal.
Tidak kalah berbahaya, Pasal 16 memperluas penggunaan metode penyelidikan khusus seperti undercover, undercover buy, hingga controlled delivery untuk semua jenis tindak pidana. Dalam KUHAP lama, metode seperti itu dibatasi untuk kejahatan tertentu seperti narkotika. Kini, perluasan tersebut membuka pintu bagi praktik penjebakan (entrapment).
“Ini bukan lagi metode penegakan hukum, tapi bisa jadi jebakan licik yang mengancam aktivis, mahasiswa, jurnalis, dan siapa pun yang vokal.” ujar Riski.
Riski juga menyoroti Pasal 90 dan Pasal 93, yang memungkinkan tindakan paksa dilakukan tanpa izin hakim, serta skema surat perintah penahanan yang dapat diterbitkan secara mandiri oleh penyidik. Hilangnya pengawasan hakim pada tahap awal merupakan kemunduran besar dalam perlindungan ham masyarakat.
“Ini menghancurkan prinsip keseimbangan kuasa. Dalam negara hukum, kontrol yudisial adalah syarat mutlak.” ungkapnya.
Ketentuan lain yang dinilai bermasalah adalah Pasal 105, 112A, dan 132A, yang memberi ruang bagi aparat untuk melakukan penggeledahan, penyitaan, hingga pemblokiran data elektronik tanpa izin hakim dalam kondisi “mendesak.”
Masalahnya, frasa mendesak sangat subjektif dan dapat ditafsirkan sewenang-wenang. Ditambah Pasal 124 dan Pasal 136, yang memungkinkan penyadapan secara luas tanpa kontrol yudisial yang memadai, KUHAP baru ini dianggap membuka peluang praktik pemantauan massal terhadap warga.
Riski juga menyoroti hilangnya konsep hakim pemeriksa pendahuluan atau judge commissioner dalam KUHAP baru. Padahal, lembaga ini dirancang untuk menjadi benteng pengawasan yudisial dalam tindakan paksa. Tanpa lembaga tersebut, aparat memiliki ruang gerak yang terlalu besar tanpa pengimbangan yang proporsional.
Ancaman ini, lanjut Riski, sangat nyata bagi mahasiswa dan aktivis. Ketentuan-ketentuan yang memperbolehkan penangkapan atau tindakan paksa tanpa pengawasan hakim dapat dengan mudah digunakan untuk meredam kritik, membungkam kelompok masyarakat sipil, dan memutarbalikkan nalar publik melalui kriminalisasi.
“Prinsip Musyawarah dan Perwakilan dalam demokrasi akan lumpuh jika suara kritis diberi label kriminal hanya karena mereka bersuara.” katanya.Selain represif, beberapa pasal juga dinilai menciptakan celah ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap kelompok rentan, mengabaikan nilai keberpihakan yang selama ini diperjuangkan masyarakat sipil. KUHAP baru bukan hanya mengancam kebebasan berpendapat, tetapi juga merusak pondasi keadilan sosial.
“Jika KUHAP baru dibiarkan berjalan tanpa revisi mendasar, maka kita sedang membangun bangunan mewah demokrasi di permukaan, tetapi fondasinya rapuh karena dibangun di atas kekuatan represif,” tegas Riski Fadila.
Sebagai Ketua PC PMII Blitar, Riski menyerukan agar pemerintah membuka ruang dialog publik, melibatkan akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil untuk melakukan revisi substantif.
“Negara hukum hanya akan berdiri kokoh jika hukum berpihak pada rakyat. Dan KUHAP baru dalam bentuknya sekarang bukanlah pelindung, tetapi ancaman. Ini adalah alarm keras bagi demokrasi kita.” tutupnya. (Blt)

