Jakarta – Sejarah resmi Orde Baru selama puluhan tahun menyebut peristiwa 1965 sebagai “pemberontakan komunis” yang berhasil digagalkan oleh militer.
Namun, hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) justru menunjukkan fakta sebaliknya: kekerasan yang menyusul peristiwa itu merupakan operasi militer berskala nasional, dengan pola komando dan pelibatan aparat negara di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Komnas HAM menyimpulkan bahwa tindakan pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, dan kerja paksa terhadap mereka yang dituduh anggota atau simpatisan PKI dilakukan secara terencana, sistematis, dan terkoordinasi, bukan spontanitas rakyat seperti yang selama ini diklaim.
Dokumen dan kesaksian yang dihimpun Komnas HAM menunjukkan bahwa pasca 1 Oktober 1965, Angkatan Darat berada di bawah kendali penuh Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara setelah peristiwa G30S.
Dari markas pusat di Jakarta, perintah “penumpasan” dikirim ke seluruh Kodam melalui surat, radiogram, dan instruksi lisan yang dibawa langsung oleh perwira lapangan.
Setiap komando daerah kemudian membentuk struktur operasi sendiri: Kodim di tingkat kabupaten, Koramil di kecamatan, dan Babinsa di desa menjadi pengendali utama aksi penangkapan. Mereka bekerja sama dengan aparat sipil, kepala desa, lurah, dan organisasi massa lokal.
“Pola tindakan yang identik di berbagai wilayah menunjukkan adanya koordinasi vertikal dan bukan inisiatif lokal,” tulis laporan Komnas HAM.
Komnas HAM menyebut aparat militer, khususnya Angkatan Darat, sebagai aktor dominan dalam seluruh proses kekerasan. Dari perintah penangkapan hingga pelaksanaan eksekusi, kendali berada di tangan struktur militer, bukan aparat sipil.
Di beberapa daerah, operasi dilakukan dengan nama sandi: Operasi Trisula di Blitar Selatan, Operasi Kladen di Jawa Tengah, dan Operasi Tumpas di Bali. Semua memiliki pola serupa: penangkapan massal, penyiksaan, dan pembunuhan tanpa pengadilan.
Militer juga mengerahkan organisasi sipil untuk membantu. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, kelompok-kelompok seperti Banser, Pemuda Ansor, dan Pemuda Pancasila dilibatkan dalam “pembersihan.” Di Bali, operasi dilakukan bersama aparat keamanan lokal dan unsur masyarakat desa.
“Partisipasi sipil bukan berarti ketiadaan peran negara,” tegas laporan Komnas HAM. “Mereka digerakkan, dilindungi, dan difasilitasi oleh aparat militer.”
Setelah pembunuhan massal, militer membentuk sistem pengawasan sosial yang ketat. Ribuan tahanan diklasifikasikan dalam kategori A, B, dan C—berdasarkan tingkat dugaan keterlibatan dengan PKI.
Mereka wajib melapor setiap minggu ke kantor militer atau kepolisian. Nama mereka disebarkan ke instansi pemerintah dan perusahaan, memastikan tak ada peluang untuk bekerja di sektor publik.
Di beberapa wilayah, kepala desa diwajibkan mencatat seluruh warga yang pernah “terlibat” dan melaporkannya secara berkala. Kebijakan ini berlangsung hingga dekade 1980-an, menjadikan trauma sosial sebagai alat kontrol politik.
“Negara mengubah ketakutan menjadi kebijakan,” tulis laporan Komnas HAM.
Komnas HAM juga mencatat bahwa institusi peradilan nyaris tidak berfungsi selama periode kekerasan. Tidak ada pengadilan umum untuk para tahanan politik, kecuali sebagian kecil kasus yang dibawa ke Mahkamah Militer dengan vonis yang sudah ditentukan sejak awal.
Kepolisian lebih banyak bertindak sebagai pelengkap operasi militer, bukan penegak hukum. Jaksa dan hakim tunduk pada keputusan komando, bukan pada prinsip keadilan.
“Negara menciptakan sistem di mana hukum menjadi pembenaran bagi kekerasan,” tulis laporan itu.
Hingga kini, tidak satu pun pejabat militer yang bertanggung jawab atas tragedi ini diadili. Upaya Komnas HAM untuk membawa kasus ini ke tahap penyidikan pro justisia terus kandas karena Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti laporan tersebut.
Dalih yang digunakan selalu sama: kurang bukti, sudah terlalu lama, atau demi menjaga stabilitas nasional.
Sementara itu, para korban yang masih hidup terus menunggu pengakuan, sementara pelaku banyak yang hidup tenang sebagai tokoh masyarakat, bahkan pejabat negara.
Komnas HAM menegaskan, pola tindakan, keterlibatan aparat, dan struktur komando yang teridentifikasi menunjukkan bahwa kekerasan 1965 memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam hukum internasional.
Kejahatan itu bukan hasil amarah rakyat, tapi produk kebijakan negara yang dijalankan dengan disiplin militer. “Negara gagal melindungi warganya,” tutup laporan itu, “karena justru negara yang menjadi pelaku.”
Sumber: Dokumen Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966

