Barangkali tidak banyak diceritakan dalam teks – teks sejarah, baik dalam sejarah kemahasiswaan ataupun dalam dunia sastra yang digelutinya. Hanya saja ia abadi dalam sajak – sajak romansa kesusastraan Chairil, mantan kekasihnya. Namanya yang sudah sangat asing malahan mulai dikenal kembali saat pementasan teater “Perempuan – Perempuan Chairil” pada tahun 2017 silam.
Tetapi sebelum lenyap tanpa jejak itu, ia dikenal bukan hanya karena seorang wanita yang pernah menghiasi hari – hari Chairil Anwar hingga diabadikan dibeberapa puisinya yakni antara lain berjudul “Ajakan” (Februari 1943). Namanya kembali muncul dalam puisi “Bercerai” (7 Juni 1943), “Merdeka” (14 Juli 1943), dan “Selama Bulan Menyinari Dadanya” (1948).
Chairil Anwar pun kerap menyebut nama Ida dalam “Pidato Chairil Anwar 1943” yang disampaikannya kepada Angkatan Baru Pusat Kebudayaan pada 7 Juli 1948 (historia). Lebih dari itu ia adalah seorang wanita intelektual, esais dan kritikus ternama menjelang hingga awal kemerdekaan.
Ida Nasution lahir pada tahun 1922 dan memulai pendidikan dasarnya di Sibolga, bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar bergaya Eropa. Ketika ayahnya dipindahtugaskan ke Batavia, keluarganya ikut menetap di sana.
Pada tahun 1934, Ida melanjutkan pendidikannya di Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah elit milik Belanda, tempat ia menempuh studi selama enam tahun, setara tingkat SMP hingga SMA.
Bakat menulisnya mulai tampak sejak masa sekolah ini. Bahkan, ia sempat direkomendasikan untuk melanjutkan kuliah ke Belanda, namun tawaran itu ia tolak. Sebagai gantinya, pada tahun 1940, Ida mendaftar di Jurusan Sastra Bahasa di Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte), Universiteit van Indonesie yang kini dikenal sebagai Universitas Indonesia. Ia menjadi salah satu mahasiswa pertama di fakultas yang baru dibuka tersebut.
Ida Nasution harus menghentikan kuliahnya sementara setelah Jepang menyerang Indonesia pada akhir 1941. Akibat pendudukan Jepang dan ditutupnya Universiteit van Indonesie (Universitas Indonesia), seluruh aktivitas kampus terhenti.
Setelah keadaan mulai kondusif, Jepang membuka kembali pendidikan tinggi pada 29 April 1943. Namun, karena dosen Belanda telah kembali ke negaranya dan mahasiswa sangat sedikit, perkuliahan tidak efektif. Ida Nasution pun lebih banyak belajar mandiri dan aktif di luar kampus dalam bidang sastra.
Pada momentum inilah perkenalannya dengan banyak tokoh penting yang termasuk sastrawan Angkatan Balai Pustaka, misalnya Merari Siregar dan Sanusi Pane serta sastrawan Pujangga Baru seperti Armijn Pane dan Takdir Alisjahbana. Sehingga Ida tidak kekurangan mentor untuk memulai kariernya sebagai esais dan kritikus.
Sejak masa pendudukan Jepang memunculkan banyak sastrawan muda yang berkembang pesat, berbeda dengan era kolonial Belanda. Para pemuda kala itu dipenuhi semangat kemerdekaan, termasuk dalam karya-karya sastra mereka.
Kebijakan Jepang yang mengizinkan penggunaan Bahasa Indonesia mendorong tumbuhnya minat sastra, karena para calon penulis tidak perlu mempelajari bahasa asing terlebih dahulu. Kebebasan ini juga menumbuhkan semangat nasionalisme.
Beberapa tokoh sastrawan muda yang mencolok saat itu adalah Chairil Anwar (penyair), Idrus (penulis prosa), Ida Nasution (penulis esai), dan Usmar Ismail (drama). Ida Nasution menjadi satu-satunya dari mereka yang mahasiswa, meskipun perkuliahan tidak berjalan lancar. Ia tetap terdaftar di fakultas sastra dan menyusun kurikulum belajarnya sendiri.
Ida melihat kondisi perkuliahan yang terbatas sebagai tantangan. Ia aktif menulis dan mengirimkan esai serta kritik sastra ke berbagai media, seperti Siasat, Sadar, Pemabroean, Het Inzicht, dan Opbouw, termasuk yang berbahasa Belanda.
Ia juga menerjemahkan karya sastra berbahasa Prancis, salah satunya karya André Malraux. Dalam esai-esainya, seperti yang terbit di Indonesie Culturaal, kata “merdeka” sering muncul sebagai bentuk semangat perjuangan.
Sebagai penulis, ia juga sesekali menggunakan nama pena “Ida Anwar”, yang diambil dari nama ayahnya. Ida dikenal sebagai kritikus tajam dan esais berbakat. Bersama Chairil Anwar, ia pernah mengasuh rubrik Gelanggang di majalah Siasat, menunjukkan kesamaan visi mereka yakni membangkitkan semangat bangsa melalui sastra.
Pada 1948, Ida Nasution dan Chairil Anwar mengasuh rubrik kebudayaan “Gelanggang” di majalah mingguan Siasat, media yang menyoroti politik dan kebudayaan sekaligus menerbitkan Surat Kepercayaan Gelanggang manifesto resmi kelompok tersebut.
Kritikus sastra HB Jassin menobatkan mereka sebagai Angkatan ’45 lewat esai “Enam Tahun Sastra Indonesia” (majalah Oriëntatie, 1948). Angkatan ini lahir ketika pemerintahan Jepang akhirnya mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia, sehingga karya‑karyanya sarat nasionalisme: Ida sebagai pelopor esai, Chairil sebagai penyair, dan Usmar Ismail sebagai penulis prosa.
Dalam dunia pergerakan mahasiswa, Ida dan G. Harahap mendirikan organisasi Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia (PMUI) pada 20 November 1947. Anggotanya naik dari 30 menjadi 100 sebelum setahun.
Ida adalah presiden pertama di perhimpunan ini. Tujuan organisasi ini adalah untuk menyatukan mahasiswa – mahasiswa Indonesia. Akibat aktivitasnya yang sangat kritis dalam perhimpunan ini pergerakannya pun mulai diawasi intel Belanda.
Sampai akhirnya pada 23 Maret 1948, Ida bersama teman – temannya dinyatakan hilang saat sedang pergi ke Tjigombong, Bogor (sekarang Danau Lido). Penyelidikan dilakukan selama delapan hari selanjutnya pun berakhir tanpa hasil yang jelas. Konon katanya ia diculik lalu dibunuh intelejen Belanda karena aktivismenya memperjuangkan kemerdekaan. Ia lenyap bersama perjuangannya serta dalam karya – karya cemerlangnya.