Jakarta – Badai kecurigaan kembali menghantam dunia sepak bola. Setelah The Athletic merilis laporan investigatif tentang kejanggalan Round 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, dua otoritas tertinggi sepak bola dunia, FIFA dan AFC memilih bungkam.
Masalah bermula dari keputusan kontroversial FIFA dan AFC menunjuk Arab Saudi dan Qatar sebagai tuan rumah babak keempat.
Padahal, menurut regulasi resmi, pertandingan di tahap ini seharusnya digelar di tempat netral, tanpa keunggulan kandang bagi tim peserta.
Alih-alih transparan, dua federasi tersebut tidak memberikan jawaban sama sekali atas enam pertanyaan resmi dari jurnalis The Athletic, Jacob Whitehead, yang meminta penjelasan soal proses penunjukan dan keadilan kompetisi.
Pertanyaan yang tak dijawab mencakup:
* Kriteria dan skor penilaian bidding hak tuan rumah.
* Alasan dua negara peserta diizinkan bermain di kandang.
* Dasar penetapan unggulan untuk Arab Saudi dan Qatar.
* Mekanisme penentuan jadwal yang memberi keunggulan recovery bagi tuan rumah.
* Pembatasan kuota tiket bagi suporter lawan.
* Akses publik terhadap regulasi lengkap babak kualifikasi.
Sikap bungkam FIFA dan AFC justru memperkuat kecurigaan publik: ada yang tidak beres di balik proses yang seharusnya steril dari kepentingan politik dan finansial.
Pelatih Oman, Carlos Queiroz, bahkan sudah mengeluh sejak awal.
Ia menyebut jadwal pertandingan “berbau keberpihakan” karena Qatar dan Arab Saudi mendapat waktu istirahat enam hari, sementara tim lain, termasuk Indonesia, hanya dua hari.
“Sulit bicara soal fair play jika jadwal saja sudah berpihak,” ujarnya dalam konferensi pers jelang laga.
Indikasi ketimpangan juga tampak saat laga Arab Saudi vs Indonesia. Suporter Garuda kesulitan masuk stadion karena pembatasan tiket ketat—hanya 4.000 lembar, sementara pendukung tuan rumah mendapat 10.000 tiket.
Sejauh ini, FIFA dan AFC tetap tidak merespons. Tidak ada klarifikasi, tidak ada transparansi. Investigasi The Athletic pun menjadi satu-satunya sumber yang berani membuka tabir soal apa yang tampak seperti “kualifikasi paling janggal” dalam sejarah zona Asia.
Di tengah sorotan dunia, diamnya dua lembaga ini justru berbicara paling keras: sepak bola yang seharusnya milik semua, tampak makin jauh dari keadilan di lapangan hijau.
Sumber: The Athletic

