Blitar – Di sisi barat daya Kabupaten Blitar, tersembunyi sebuah desa yang menyatukan kekayaan sejarah dengan geliat kehidupan masyarakat masa kini.
Desa Plandirejo, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tulungagung dan Samudera Hindia, menyimpan kisah panjang tentang pelarian para pejuang dari cengkeraman kolonialisme pada abad ke-19.
Akar sejarah desa ini menelusur kembali ke akhir Perang Diponegoro tahun 1830. Pasca penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda, para pengikutnya tersebar, menghindari pengejaran. Salah satunya adalah Eyang Bronto Kusumo, seorang pelarian yang menyingkir ke wilayah terpencil yang saat itu masih berupa hutan lebat.
Dengan keberanian dan tekad, Bronto Kusumo mulai membuka lahan dan mendirikan pemukiman yang kemudian berkembang menjadi Desa Plandirejo, diperkirakan pada rentang tahun 1865 hingga 1880.
Warisan perjuangannya masih dikenang hingga hari ini. Punden Eyang Bronto Kusumo, tempat yang diyakini sebagai petilasannya, dijaga dan dihormati oleh warga. Setiap malam Jum’at, banyak peziarah datang untuk berdoa dan mengenang jasa pendiri desa tersebut.
Perjalanan Plandirejo tidak berhenti di situ. Sekitar tahun 1915, sistem pemerintahan desa mulai terbentuk secara resmi dengan diangkatnya Ki Lurah Joyowinangun sebagai kepala desa pertama. Sejak saat itu, desa ini terus mengalami kemajuan dan telah dipimpin oleh 12 kepala desa secara berkesinambungan.
Kini, Plandirejo berkembang sebagai desa yang maju dan dinamis. Dengan luas wilayah mencapai 714 hektar, desa ini terbagi dalam tiga dusun: Wonorejo, Sidorejo, dan Ngadirejo, yang dihuni oleh lebih dari 3.700 jiwa.
Selain pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi, masyarakat juga menggeliat melalui industri mebel lokal, yang tumbuh menjadi sektor unggulan.
Perpaduan antara warisan sejarah, kerja keras, dan semangat gotong royongmenjadikan Plandirejo sebagai potret desa yang tumbuh kokoh di tengah zaman yang terus bergerak.
(Blt)