Artikel Opini
Beranda » Buton yang sunyi, kisah korban 1965 yang tak pernah dituturkan

Buton yang sunyi, kisah korban 1965 yang tak pernah dituturkan

Logo Partai Komunis Indonesia. (Dok. YKKP 1965)

Buton – Tidak ada suara tembakan, tidak ada barisan tentara yang terlihat di jalan-jalan kecil Buton pada 1965. Tapi ketakutan menjalar diam-diam, merayap ke rumah-rumah warga.

Di pulau yang dikenal tenang itu, ribuan orang ditangkap, disiksa, dan dijadikan pekerja paksa tanpa pernah tahu apa kesalahan mereka.

Cerita tentang kekerasan di Buton jarang terdengar. Wilayah ini seperti terlupakan dari catatan besar sejarah pelanggaran HAM 1965.

Di Blitar, Megawati usulkan Konferensi Asia–Afrika plus untuk persatuan global south.

Baru pada 2011, tim dokumentasi KontraS bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Buton Rayamenelusuri sisa-sisa kisah dari warga yang dulu dituduh sebagai simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Yang mereka temukan bukan hanya trauma masa lalu, tapi ketakutan yang masih hidup hingga kini.

Salah satu kisah paling mencolok datang dari Desa Todombulu, Kecamatan Sampolawa. Ketika tim KontraS datang untuk melakukan wawancara, desa itu sepi. Tak ada satu pun warga yang terlihat. Menurut Lurah setempat, para penduduk melarikan diri ke kebun-kebun karena takut akan ditanyai soal masa lalu.

“Mereka khawatir akan dikaitkan lagi dengan PKI,” tulis laporan KontraS. “Sebagian pergi ke Bau-Bau dan Kendari, sementara yang lain bersembunyi di kebun selama berhari-hari.”

Ketika negara diam soal Tragedi 1965, masih ada perjuangan korban dan masyarakat sipil menuntut keadilan

Reaksi itu menggambarkan luka panjang yang tak pernah diobati. Setengah abad setelah tragedi, warga masih menganggap berbicara tentang 1965 sama saja dengan mengundang bahaya.

Penangkapan dan Penyiksaan

Penduduk Buton bercerita bagaimana mereka ditangkap tanpa alasan jelas. Banyak yang hanya dituduh berdasarkan laporan tetangga atau aparat desa. Mereka dibawa ke kantor kecamatan, disiksa, dan ditahan berbulan-bulan.

Putri Batik Kota Blitar ini angkat budaya lewat dunia rias: Merias wajah itu seni memuliakan identitas

Dalam laporan, disebutkan dua periode utama kekerasan: 1965–1968 dan 1969–1974. Pada periode pertama, ribuan warga ditangkap dan ditahan di berbagai lokasi seperti Sampolawa, Batauga, hingga Bau-Bau. Mereka dipaksa bekerja tanpa upah, dipukuli, bahkan dijadikan tontonan publik.

Di periode kedua, praktik kekerasan bergeser menjadi sistematis: kerja paksa, wajib lapor, hingga pengawasan ketat terhadap keluarga korban. Banyak korban kehilangan tanah, rumah, dan pekerjaan.

Perempuan di Buton juga tak luput dari kekerasan. Beberapa diperkosa saat penahanan, sebagian lainnya dilecehkan di depan umum. Namun sebagian besar memilih bungkam. Dalam masyarakat yang patriarkis, menyuarakan kekerasan seksual sama dengan bunuh diri sosial.

Operasi Trisula di Blitar Selatan: Tragedi yang dikubur secara diam-diam

Salah satu penyintas perempuan, yang kini berusia 70 tahun, hanya berkata pelan kepada tim dokumentasi: “Saya disuruh diam waktu itu, dan sampai sekarang pun saya masih diam.”

Setelah dibebaskan, korban tidak benar-benar bebas. Mereka diwajibkan lapor berkala ke aparat militer selama bertahun-tahun. Cap “eks tapol” di KTP menjadi vonis seumur hidup. Anak-anak mereka ditolak di sekolah dan tidak bisa mendaftar sebagai pegawai negeri.

Bagi sebagian korban, diskriminasi itu bahkan lebih menyakitkan daripada siksaan fisik. “Kami sudah tua dan miskin. Tapi yang paling menyiksa adalah dicurigai seumur hidup,” kata seorang korban di Sampolawa kepada tim KontraS.

Pendokumentasian yang dilakukan KontraS dan LBH Buton Raya menjadi catatan pertama yang menyoroti kekerasan di Buton. Sebelumnya, tak satu pun lembaga negara yang mencatat penderitaan mereka.

Hasil temuan itu memperlihatkan betapa luasnya pola kekerasan negara pasca-1965, tidak hanya di Jawa atau Bali, tapi juga di pulau-pulau kecil seperti Buton yang jauh dari pusat kekuasaan.

“Di sini tidak ada kuburan massal besar seperti di Jawa,” tulis laporan itu, “tapi ada kuburan sosial, berupa stigma dan diamnya negara.”

Kini, sebagian besar korban di Buton sudah menua. Banyak yang meninggal sebelum sempat menceritakan kisahnya. Mereka meninggalkan warisan pahit bagi generasi berikutnya: ketakutan untuk bicara dan ketidakpercayaan pada negara.

Sumber: KontraS – Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965: Sebuah Upaya Pendokumentasian

Berita Terkait

×