Jakarta – Tidak ada kekuasaan yang lebih efektif daripada ketakutan. Setelah 1965, Indonesia membuktikannya dengan cara paling brutal.
Rasa takut yang diciptakan, diulang, dan dipelihara secara sistematis menjadi bahan bakar utama bagi salah satu pembunuhan massal terbesar abad ke-20.
Menurut laporan Dalih Pembunuhan Massal, ketakutan terhadap “bahaya laten komunisme” bukan sekadar reaksi spontan rakyat, melainkan konstruksi politik yang sengaja dibangun oleh negara, militer, dan media untuk menciptakan musuh bersama.
Tujuannya jelas: mengonsolidasikan kekuasaan dan menyingkirkan lawan politik dengan legitimasi moral.
Setelah Peristiwa 30 September 1965, dalam waktu kurang dari seminggu, narasi resmi sudah terbentuk: PKI dituduh menjadi dalang penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal.
Tanpa penyelidikan, tanpa pengadilan, aparat militer langsung mengumumkan “bahaya komunis” dan menyerukan “pembersihan.”
Media massa dikontrol total. Surat kabar seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, dua organ militer, menulis berita dengan gaya propaganda: sensasional, menakutkan, dan menghujat.
Laporan Dalih Pembunuhan Massal menyebut, hampir setiap hari terbit berita palsu tentang penyiksaan jenderal oleh “wanita PKI” atau “anggota Gerwani yang menari-nari di Lubang Buaya.”
Narasi itu berhasil. Dalam waktu singkat, kebencian menyebar hingga ke desa-desa. Rakyat percaya bahwa membunuh komunis bukan dosa, tapi kewajiban moral.
Istilah “bahaya laten PKI” menjadi mantra politik selama tiga dekade. Ia tidak hanya digunakan untuk membenarkan kekerasan 1965, tapi juga untuk mengontrol wacana publik. Siapa pun yang berbicara tentang hak asasi, keadilan, atau sejarah dianggap berpotensi “terpengaruh ideologi kiri.”
Dalam dokumen yang dikutip dalam Dalih Pembunuhan Massal, para jenderal di Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menyebut bahaya laten sebagai “musuh tanpa bentuk.” Artinya, siapa pun bisa dicurigai, dan semua tindakan kekerasan bisa dibenarkan.
“Ketakutan ini bukan hanya alat pertahanan,” tulis laporan itu, “tapi sistem politik.”
Bahkan setelah pembunuhan massal berhenti, aparat keamanan tetap menebar teror psikologis. Warga yang pernah ditahan dipaksa lapor rutin, dilarang berorganisasi, dan diawasi terus menerus. Ketakutan menjadi kebijakan negara, terstruktur, rutin, dan efektif.
Militer paham bahwa senjata paling ampuh bukan peluru, tapi cerita. Lewat film, buku pelajaran, dan pidato kenegaraan, citra “komunis kejam” dijaga tetap hidup.
Film Pengkhianatan G30S/PKI, yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) pada 1984, ditayangkan wajib di seluruh sekolah dan televisi setiap akhir September.
Film itu memperlihatkan adegan penyiksaan sadis yang tak pernah terbukti, tapi diulang setiap tahun seolah fakta sejarah. Laporan Dalih Pembunuhan Massal menyebut strategi ini sebagai “politik ingatan yang dikelola negara”, cara halus tapi kejam untuk memastikan ketakutan turun-temurun.
Generasi yang lahir puluhan tahun setelah 1965 tumbuh dalam atmosfer yang sama: percaya bahwa PKI adalah monster, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ketakutan itu tidak bekerja sendirian. Ia diperkuat oleh institusi sosial yang seharusnya menjadi penyeimbang: agama dan pendidikan. Sejumlah tokoh agama waktu itu menyatakan pembunuhan terhadap “komunis” sebagai jihad, perang melawan kafir, atau bentuk penyelamatan bangsa.
Sementara kurikulum sekolah menghapus seluruh konteks sejarah dan menggantinya dengan versi tunggal milik militer. Anak-anak diajarkan untuk takut pada simbol palu-arit bahkan sebelum tahu apa artinya.
“Negara menciptakan generasi yang tidak tahu kebenaran, tapi tahu apa yang harus dibenci,” tulis laporan Dalih Pembunuhan Massal.
Yang paling berbahaya dari ketakutan buatan adalah ketika ia tidak lagi butuh alasan. Hingga kini, banyak korban dan keluarga korban masih menanggung stigma sosial. Rumah mereka diserang ketika mencoba memperingati peristiwa 1965, dan arsip mereka disita atas nama keamanan.
Padahal, sebagian besar dari mereka bahkan bukan anggota PKI. Mereka hanyalah warga yang kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah dan jadi korban dari ketakutan yang dirancang dari atas.
Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

