Tahun-tahun setelah dakwah terbuka menjadi masa gelap bagi umat Islam di Mekah. Semakin banyak yang masuk Islam, semakin keras pula kebencian Quraisy.
Mereka kehabisan cara menekan Nabi, hingga akhirnya memilih cara paling kejam: memutus seluruh hubungan sosial dan ekonomi.
Kaum Muslimin, bersama Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang melindungi Nabi, dikucilkan total dari masyarakat Mekah.
Tak boleh berdagang, tak boleh menikah, tak boleh berinteraksi. Siapa pun yang membantu mereka akan dihukum.
Semua itu tertulis dalam piagam boikot, disepakati para pemuka Quraisy dan digantung di dalam Ka’bah, tempat yang seharusnya suci, tapi kini dijadikan simbol kezaliman.
Nabi dan para pengikutnya harus mengungsi ke sebuah lembah sempit di pinggiran Mekah, dikenal sebagai Syi’ib Abu Thalib. Selama tiga tahun, mereka hidup dalam penderitaan yang sulit dibayangkan.
Makanan sangat sedikit. Anak-anak menangis kelaparan di malam hari. Mereka terpaksa memakan daun-daunan kering, dan bila ada pedagang yang hendak memberi mereka makanan, Quraisy segera menghalanginya.
Namun di tengah kelaparan itu, Nabi terus menguatkan mereka. Beliau mengajarkan bahwa iman yang sejati justru diuji di saat lapar dan lemah. “Kesabaran adalah kunci kemenangan,” ucapnya berulang-ulang.
Boikot itu akhirnya runtuh, bukan karena kekuatan politik, tapi karena nurani. Beberapa tokoh Quraisy mulai merasa malu atas tindakan kejam tersebut.
Hisyam bin Amr, Zuhair bin Umayyah, dan beberapa orang lainnya bersekongkol untuk mengakhiri piagam itu.
Ketika mereka membuka gulungan piagam dari dinding Ka’bah, ternyata sebagian besar tulisan telah dimakan rayap, kecuali satu kalimat: “Dengan nama-Mu, ya Allah.”
Momen itu menjadi tanda bahwa Allah sendiri telah menghapus kezaliman dengan tangan-tangan kecil yang tak terduga. Boikot pun dicabut. Kaum Muslim keluar dari lembah dengan tubuh lemah, tapi hati mereka semakin kuat.
Tahun Kesedihan: Dua Penopang yang Pergi
Tak lama setelah itu, datang ujian yang lebih pedih. Dua orang terdekat Nabi meninggal dunia dalam waktu berdekatan: Abu Thalib, sang pelindung dari tekanan Quraisy, dan Khadijah, istri tercinta yang menjadi sumber ketenangan jiwa.
Abu Thalib wafat dalam keadaan belum memeluk Islam, tapi seluruh hidupnya dipakai untuk melindungi keponakannya. Khadijah berpulang dalam iman yang tenang, setelah bertahun-tahun menjadi tempat Nabi bersandar.
Dua kehilangan besar itu membuat tahun itu dikenang sebagai ‘Amul Huzn, Tahun Kesedihan. Bahkan Nabi yang terkenal tegar pun tak bisa menyembunyikan duka.
“Khadijah beriman kepadaku ketika semua orang mendustakanku,” kenangnya, “dan ia membelaku dengan harta dan dirinya ketika semua orang menjauh.”
Dalam kesunyian kehilangan, Nabi tidak berhenti berdakwah. Beliau mencoba mencari tempat baru untuk menyebarkan Islam, bahkan pergi ke kota Thaif, tapi di sana, beliau justru disambut dengan lemparan batu.
Namun dari setiap luka, Allah menyiapkan cahaya. Tidak lama setelah tahun itu, Nabi akan mengalami Isra’ dan Mi’raj, perjalanan spiritual yang menghapus kesedihan dan membuka babak baru dalam dakwahnya.
Boikot dan tahun kesedihan adalah bukti bahwa perjalanan iman tidak selalu terang. Kadang, Tuhan mengizinkan kegelapan agar manusia belajar melihat cahaya dari dalam dirinya sendiri.
Nabi Muhammad SAW tidak menyerah, karena ia tahu bahwa kehilangan manusia bukan berarti kehilangan arah. “Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan,” ayat itu turun bukan untuk menenangkan masa depan, tapi untuk meneguhkan langkah di tengah badai.
Sumber: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury

