Jakarta – Dari eco-polyester hingga ‘vegan leather’, tidak semua kain itu seperti yang terlihat. Kami mewawancarai para ahli mode berkelanjutan untuk mengungkap strategi pemasaran, kain yang perlu dihindari, serta apa yang bisa Anda pilih supaya lebih ramah lingkungan.
Cara Memilih Kain yang Lebih Ramah Lingkungan Jangan Dibeli (“Don’t buy”)
Sebagian besar ahli mode berkelanjutan setuju: lebih baik menghindari serat buatan manusia yang berbasis petroleum, karena sulit terurai secara hayati dan kualitasnya sering rendah.
“Kedua pelanggar terburuk adalah virgin polyester dan akrilik,” kata Bianca Alleyne, pendiri Sustainably Influenced. “Keduanya melepas mikroplastik dan memiliki jejak karbon yang besar.”
Beli yang Lebih Baik (“Do buy”)
Carilah serat alami seperti linen, katun organik, dan wol, dengan sertifikasi yang diakui seperti GOTS (Global Organic Textile Standard).
Linen sangat direkomendasikan karena produksinya relatif rendah dampak: berasal dari flax yang tak memerlukan pestisida, menggunakan sedikit air, bisa tumbuh di tanah tidak subur, dan kainnya makin lembut dengan pemakaian.
Ada juga kain semi-sintetik bermerek seperti Tencel dan EcoVero yang lebih ramah lingkungan dibanding viscose biasa, dalam hal penggunaan karbon dan air.
Circulose adalah kain yang dibuat 100% dari limbah tekstil katun daur ulang.
Mengapa Polyester Bermasalah
Diperkirakan sekitar 57% dari seluruh kain yang diproduksi secara global adalah polyester.
Polyester murah dan bisa meniru kain premium, tapi dari sisi pengguna: polyester tidak bernapas — ia menjebak panas dan keringat sehingga pakaian bisa terasa tidak nyaman.
Polyester dibuat dari minyak, melalui proses kimia panjang (dari pemintalan hingga pewarnaan). Setiap kali dicuci, polyester melepas mikroplastik. Ia butuh ratusan tahun untuk terurai dan selama itu bisa melepaskan racun ke tanah.
Cara Mengenali “Red Flags” (Pertanda Bahaya / Greenwashing)
Jika suatu kain diklaim sebagai “serat alami”, periksa label perawatan (care label) apakah ada campuran serat sintetis seperti polyester, nylon, akrilik. Ini adalah trik umum dari merek fast fashion untuk mendapatkan tampilan lebih menarik tapi dengan biaya bahan baku lebih rendah.
Waspadai istilah seperti “vegan leather” yang sebenarnya adalah poliuretan (plastik) atau “eco polyester”.
Merek sering membuat istilah yang menarik agar konsumen berpikir bahwa versi plastik tersebut adalah pilihan yang lebih berkelanjutan. Greenwashing sering memanfaatkan buzzwords ini.
Apakah Serat Campuran Pernah Oke?
Topik ini agak kompleks. Blending (campuran) bisa membuat pakaian lebih tahan lama, tetapi mencampur serat sintetis dengan serat alami (misalnya “polycotton”) biasanya membuatnya hampir mustahil untuk dipisahkan, didaur ulang atau dikomposkan di akhir masa pakai.
Merek mewah sering menggunakan campuran, namun memberi label seolah-olah kainnya murni (pure) untuk menarik harga
Waspadai Rajutan / Knitwear
Rajutan tidak selalu dari wol. Banyak produk rajutan menggunakan sintetis menggantikan wol demi penghematan biaya. “Wol secara alami bernapas, mengatur suhu tubuh, tahan lama, antibakteri dan hypoallergenic, serta bisa terurai. Jika diganti dengan sintetis, semua manfaat itu hilang,” kata Morris.
Jadi, Di Mana Harus Berbelanja?
Merek menengah yang menggunakan serat alami berkualitas dengan dampak sosial dan lingkungan lebih rendah direkomendasikan. Alleyne menyebut Ninety Percent sebagai merek dasar (basics) berkualitas.
Untuk supaya lebih hemat tapi tetap mendapatkan kain alami berkualitas, cobalah platform secondhand seperti Vinted dan eBay, serta bisnis preloved (pakai ulang) lainnya.
Beberapa merek juga mengembalikan pakaian lama konsumen agar didaur ulang menjadi pakaian baru, seperti Community Clothing dan Rapanui.
Tapi paling penting: belilah lebih sedikit, pilih yang berkualitas tinggi dan tahan lama, lalu ketika sudah tidak digunakan lagi, buang atau daur ulang secara bertanggung jawab.
terjemahan dari sebagian besar artikel The Guardian berjudul “Ignore buzzwords and watch out for wool: how to choose more eco-friendly fabrics – and avoid greenwashing”. (Blt)