Artikel Opini
Beranda » Generasi yang terlalu cepat lelah padahal belum apa-apa

Generasi yang terlalu cepat lelah padahal belum apa-apa

Ilustrasi orang cemas.

Ada kalanya kita bangun di pagi hari, menatap layar ponsel yang dipenuhi kabar tentang kesuksesan orang lain, lalu tiba-tiba merasa kalah sebelum hari benar-benar dimulai. Semua orang terlihat produktif, sibuk, bersemangat serta seakan tahu apa yang mereka kejar.

Sementara kita, bahkan untuk membuka mata saja sudah butuh energi besar. Dunia berjalan cepat, tapi hati kita terasa tertinggal di belakang. Itulah ciri zaman ini, ketika setiap orang berlomba menjadi yang tercepat, meski tak semua tahu sebenarnya mereka sedang menuju ke mana.

Lelah hari ini bukan lagi soal fisik. Kita kelelahan karena harus selalu tampak baik-baik saja. Kita berpura-pura paham arah hidup, padahal di dalam hati masih banyak yang berantakan. Tekanan itu tak datang dari orang lain saja, tapi dari dalam diri yang terus menuntut agar kita segera berhasil. Kita ingin jadi versi terbaik, tapi lupa bahwa “terbaik” yang kita kejar sering kali hanyalah bayangan yang dibentuk dunia.

Opini: Aktivis tanpa poster yang lahir dari gerakan-gerakan kecil

Kita tumbuh di era ketika semua orang bisa membagikan pencapaian mereka dalam hitungan detik. Di timeline, teman sebaya sudah punya bisnis, orang lain sudah menikah, ataupun yang lain lagi sudah keliling dunia. Tanpa sadar, kita membandingkan halaman pertama kita dengan bab ke-20 orang lain.

Lalu mulai merasa gagal, padahal kita bahkan baru memulai cerita. Dunia digital membuat hidup terasa seperti kompetisi tanpa akhir. Padahal, tak ada medali untuk siapa yang paling cepat sampai.

Yang sering dilupakan adalah kita bukan generasi lemah. Kita hanya hidup di zaman yang membuat segalanya terasa mendesak. Informasi datang setiap detik, ekspektasi terus tumbuh, kita dipaksa kuat bahkan ketika belum sempat bernapas.

Opini: Tentang hidup yang tidak perlu terlihat hebat

Dalam diam, kita belajar tersenyum saat cemas dan tetap bekerja meski kepala penuh pertanyaan. Kita bukan malas, kita hanya kelebihan beban. Dunia ini terlalu ramai, kejamnya tidak memberi ruang bagi diam.

Padahal, tidak ada yang salah dengan berjalan pelan. Tidak apa-apa kalau belum punya banyak pencapaian. Tidak apa-apa kalau masih mencari arah. Hidup bukan tentang siapa yang lebih cepat, tapi siapa yang tetap waras di tengah kebisingan. Kadang, berhenti sejenak bukan tanda menyerah, tapi cara untuk memastikan bahwa langkah berikutnya benar.

Kita hidup di generasi yang terobsesi dengan hasil. Semua hal diukur dari “seberapa cepat berhasil”, “seberapa besar dampak”, atau “seberapa viral”. Tapi dalam kecepatan itu, kita kehilangan sesuatu yang lebih penting yakni makna. Kita sibuk membangun citra, tapi lupa membangun ketenangan. Kita ingin terlihat hebat, tapi sering tak tahu untuk siapa kehebatan itu kita pertahankan.

Ada instruksi dari puncak pada Tragedi 1965: Bagaimana perintah pembunuhan menyebar

Mungkin memang belum saatnya kita terlihat hebat, dan itu tak apa. Karena hidup bukan lomba untuk jadi yang pertama, tapi perjalanan untuk jadi yang paling jujur. Lelah bukan dosa, tidak tahu arah bukan aib. Itu bagian dari proses tumbuh. Kadang, justru di fase “belum apa-apa” itulah kita benar-benar belajar tentang siapa diri kita sebenarnya.

Jika hari ini merasa lelah, kosong atau tidak punya pencapaian yang bisa dibanggakan jangan buru-buru menilai diri gagal. Tarik napas, minum air, lihat sekitar. Tidak semua orang yang tampak kuat benar-benar baik-baik saja. Sebagian dari mereka hanya pandai menyembunyikan luka. Kita semua sedang berjuang dalam dengan cara masing-masing. Barangkali itu sudah cukup. (Blt)

PMII Rayon Ali Shariati Unisba Blitar gelar RTAR IV, Ibnu Arina terpilih sebagai ketua rayon 2025-2026
×