Setelah tahun penuh kesedihan, ketika dua penopang hidupnya Khadijah dan Abu Thalib telah tiada, Nabi Muhammad SAW melewati masa paling sunyi dalam hidupnya.
Ia tidak hanya kehilangan keluarga, tapi juga tempat berpijak di Mekah. Namun saat dunia tampak menutup diri, langit justru membuka pintu. Itulah malam ketika Nabi diangkat dalam perjalanan agung: Isra’ dan Mi’raj.
Dalam satu malam, Nabi dibawa oleh malaikat Jibril dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis, Palestina. Kendaraannya adalah Buraq, makhluk putih cepat seperti kilat, namanya berasal dari kata barq, cahaya.
Di Masjidil Aqsa, beliau menjadi imam bagi para nabi sebelumnya, Ibrahim, Musa, Isa, dan nabi-nabi lainnya.
Momen itu bukan sekadar perjalanan fisik, tapi penegasan bahwa risalah Islam adalah kelanjutan dari risalah para nabi terdahulu.
Dari Baitul Maqdis, Nabi dibawa naik ke langit, Mi’raj. Langit demi langit terbuka, dan di setiap lapisan beliau bertemu dengan para nabi: Adam, Isa, Yusuf, Idris, Harun, Musa, hingga Ibrahim.
Di puncak perjalanan, Nabi mendengar panggilan Ilahi yang tak terlukiskan oleh kata. Di sanalah Allah menurunkan perintah salat lima waktu, hadiah bagi umat yang sedang lelah dan diuji.
“Salat adalah mi’raj bagi setiap mukmin,” sabda Nabi kemudian. Karena dari sujud yang dalam, manusia bisa merasakan kedekatan yang tidak ditemukan di bumi mana pun.
Ketika kembali ke Mekah, Nabi menceritakan perjalanan itu kepada kaumnya. Sebagian besar tidak percaya, mereka menertawakan dan mengejeknya.
“Perjalanan dari Mekah ke Syam saja butuh sebulan,” kata mereka, “bagaimana bisa engkau pergi ke langit dalam satu malam?”
Namun bagi orang-orang beriman, berita itu meneguhkan hati. Yang paling cepat membenarkan adalah Abu Bakar, yang sejak saat itu mendapat gelar Ash-Shiddiq, yang sangat membenarkan.
Isra’ Mi’raj menjadi obat bagi kesedihan Nabi: setelah kehilangan, Allah memberinya perjumpaan. Setelah penolakan manusia, Allah menyambutnya dengan kasih-Nya sendiri.
Tak lama setelah itu, Nabi mencoba berdakwah ke Thaif, kota sejuk di lereng pegunungan selatan Mekah. Ia berharap di sana ada yang mau menerima pesan tauhid.
Namun penduduk Thaif justru menolaknya dengan hinaan dan lemparan batu. Tubuh Nabi berdarah, langkahnya terhuyung, dan ia beristirahat di bawah pohon anggur milik dua bersaudara, Utbah dan Syaibah.
Dalam keadaan lemah itu, beliau berdoa: “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekuranganku, dan kehinaanku di hadapan manusia.
Jika Engkau ridha kepadaku, maka tiada lagi yang perlu aku pedulikan.” Doa itu bukan jeritan putus asa, tapi pengakuan cinta paling dalam dari seorang hamba kepada Tuhannya.
Ketika pintu Thaif tertutup, Allah membuka arah baru. Di musim haji berikutnya, Nabi bertemu dengan beberapa orang dari Yatsrib (kota yang kelak dikenal sebagai Madinah).
Mereka mendengarkan dakwah Nabi dengan hati terbuka dan berjanji akan kembali membawa lebih banyak orang untuk beriman. Itulah awal dari Perjanjian Aqabah, benih hijrah besar yang akan mengubah arah sejarah dunia. Dari kota itu, Islam kelak akan tumbuh menjadi peradaban.
Isra’ Mi’raj bukan hanya kisah mukjizat, tapi simbol kebangkitan setelah keterpurukan. Bahwa di balik setiap luka, ada rahmat yang sedang menunggu waktu untuk turun.
Dan doa Nabi di Thaif menjadi pengingat bagi siapa pun yang jatuh: bahwa bahkan ketika manusia menolakmu, Tuhan masih mendengarmu. “Ketika bumi terasa sempit,” tulis Mubarakfury, “Allah memperluas langit bagi Nabi-Nya.”
Sumber: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury

