Jakarta – Tragedi 1965 tidak berhenti pada tahun itu. Ia berjalan melintasi generasi, berpindah dari tubuh orang tua ke anak-anak, lalu ke cucu-cucu yang bahkan tidak pernah melihat darah, tapi tumbuh di dalam ketakutan yang sama.
Inilah warisan paling gelap dari negara: trauma yang dirawat lewat kebisuan. Laporan Dalih Pembunuhan Massal menyebut, efek sosial dan psikologis dari peristiwa ini tidak berhenti di para penyintas, tapi menular melalui rasa takut yang diajarkan di rumah dan stigma yang ditanamkan di luar rumah.
Anak-anak para tahanan politik tumbuh dalam kondisi sosial yang tidak memberi mereka ruang untuk menjelaskan siapa diri mereka. Mereka belajar sejak dini untuk menyembunyikan asal-usul keluarga. Seorang anak penyintas Plantungan berkata dalam laporan itu:
“Saya belajar berbohong sebelum bisa membaca. Kalau ditanya siapa bapak saya, saya jawab sudah meninggal, padahal beliau masih ditahan di Buru.”
Di sekolah, mereka menjadi sasaran ejekan dan pengucilan. Guru sering memperingatkan murid lain agar “tidak bergaul dengan anak PKI.”
Sebagian tidak diizinkan ikut pramuka, lomba, atau kegiatan sekolah lain karena dianggap “tidak bersih lingkungan.” “Negara tidak hanya menghukum orang tua mereka,” tulis Dalih Pembunuhan Massal, “tapi juga membesarkan generasi yang takut pada kebenarannya sendiri.”
Banyak penyintas memilih diam tentang apa yang mereka alami. Bukan karena lupa, tapi karena tidak ada ruang yang aman untuk berbicara. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan potongan-potongan cerita yang tidak lengkap: ayah yang hilang, ibu yang tak mau menjawab, kakek yang dilarang disebut namanya.
Psikolog yang dikutip dalam laporan itu menjelaskan, kondisi ini disebut trauma transgenerasional. Ketakutan dan rasa malu diwariskan tanpa kata, tapi tetap membentuk cara berpikir, cara percaya, dan cara mencintai.
“Banyak anak korban hidup dengan kecemasan yang tidak mereka pahami,” tulis laporan itu. “Ketakutan menjadi bagian dari identitas keluarga.”
Generasi ketiga, cucu-cucu para korban, tumbuh di era berbeda. Mereka lahir setelah Orde Baru runtuh, ketika internet dan media sosial membuka ruang baru untuk bertanya. Dan mereka mulai menolak diam.
Lewat komunitas seperti Ingatan Kolektif 1965, Lentera Buru, dan berbagai forum penyintas muda, mereka menggali arsip keluarga, mewawancarai kakek-nenek mereka, dan membuat dokumenter tentang kebenaran yang disembunyikan.
“Kami tidak mencari siapa yang benar,” kata seorang aktivis muda yang dikutip laporan itu. “Kami hanya ingin tahu kenapa negara membuat kakek kami merasa bersalah karena hidup.”
Gerakan mereka kecil, tapi pelan-pelan menggerus dinding ketakutan yang dibangun selama puluhan tahun. Mereka menulis, memotret, menggambar, membuat film, bahkan menandai lokasi kuburan massal di peta digital. Semua dilakukan untuk menegaskan satu hal: bahwa ingatan tidak bisa dibunuh.
Ingatan tentang 1965 kini menjadi bentuk baru dari perjuangan sosial. Di banyak tempat, anak muda menggelar pemutaran film, diskusi buku, dan ziarah ke lokasi pembunuhan. Kegiatan ini sering dibubarkan oleh aparat atau ormas, tapi mereka terus melakukannya.
Bagi mereka, mengingat bukan sekadar tindakan moral, itu bentuk politik yang menantang negara untuk mengakui kesalahannya. “Di negeri yang takut pada masa lalunya,” tulis Dalih Pembunuhan Massal, “mengucapkan kebenaran adalah tindakan keberanian yang paling sederhana.”
Beberapa penyintas akhirnya mulai berbicara setelah puluhan tahun diam. Bukan untuk menuntut balas, tapi untuk menghentikan rantai trauma. Mereka ingin anak dan cucu mereka tumbuh tanpa rasa malu atas sejarah keluarga.
Dalam salah satu testimoni, seorang ibu berusia 83 tahun berkata: “Saya ingin cucu saya tahu bahwa saya tidak bersalah. Saya hanya hidup di masa yang salah.” Kata-kata itu sederhana, tapi bagi banyak keluarga korban, itu berarti kemerdekaan yang selama ini tidak pernah mereka miliki.
Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

