Jakarta – Setelah darah berhenti mengalir, perang belum usai. Negara melanjutkannya di medan lain: ingatan. Lewat buku pelajaran, film wajib tonton, dan kurikulum pendidikan, Orde Baru membangun narasi tunggal tentang peristiwa 1965, versi yang memutihkan militer dan menghapus korban.
Laporan Dalih Pembunuhan Massal menyebut, proyek propaganda ini adalah bagian dari operasi jangka panjang untuk mengendalikan memori nasional. Tujuannya bukan sekadar menulis sejarah, tapi menanamkan ketakutan generasi demi generasi agar tidak pernah mempertanyakan kekuasaan.
Segera setelah peristiwa 30 September 1965, Angkatan Darat melalui Pusat Penerangan (Puspenad) mengambil alih seluruh media komunikasi. Surat kabar disita, siaran radio diawasi, dan berita harian diganti dengan siaran resmi yang menuduh PKI sebagai dalang penculikan jenderal.
Narasi itu disebarkan berulang-ulang dalam bentuk yang sama di seluruh Indonesia menjadikan satu versi kebenaran sebagai doktrin negara. Tahun 1966, militer menerbitkan buku “Gerakan 30 September: Pemberontakan PKI” yang kemudian dijadikan bahan ajar wajib di sekolah-sekolah.
Buku itu tidak berisi hasil penyelidikan ilmiah, melainkan rekonstruksi politik yang menyamakan kejahatan dengan kebenaran. “Generasi baru tidak hanya diajari sejarah, tapi diajari siapa yang harus mereka benci,” tulis Dalih Pembunuhan Massal.
Puncak propaganda terjadi pada 1984, ketika pemerintah meluncurkan film “Pengkhianatan G30S/PKI”, disutradarai Arifin C. Noer dan diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Film ini menampilkan adegan sadisme Gerwani dan kekejaman PKI, tanpa dasar forensik atau bukti sejarah.
Setiap tahun, film itu wajib ditonton di sekolah, kantor pemerintahan, dan stasiun TV nasional menjelang tanggal 30 September. Anak-anak sekolah duduk di aula gelap menatap adegan penyiksaan yang direka ulang, sambil mendengarkan narasi tunggal: militer adalah penyelamat bangsa.
Laporan Dalih Pembunuhan Massal menulis: “Film ini bukan hiburan, tapi ritual politik. Ia diputar bukan untuk mengingat, tapi untuk memastikan orang takut mengingat yang sebenarnya.”
Selain propaganda visual, negara juga membangun bahasa baru: “Bahaya Laten PKI.” Istilah ini dipakai di semua level birokrasi, pendidikan, dan kehidupan sosial. Ia menjadi kode ideologis yang membuat masyarakat terus hidup dalam ketakutan.
Seseorang tidak perlu menjadi komunis untuk dituduh komunis. Cukup berbicara tentang hak asasi manusia, atau sekadar mempertanyakan versi sejarah resmi, maka label itu bisa ditempelkan kapan saja.
“Dengan cara ini,” tulis laporan itu, “negara berhasil menggantikan kebenaran dengan rasa takut yang diwariskan.”
Buku Pelajaran dan Sensor Akademik
Selama Orde Baru, pelajaran sejarah di sekolah ditulis ulang sepenuhnya. Semua peristiwa 1965-1966 disajikan dalam dua halaman singkat: PKI diceritakan sebagai pengkhianat, sementara Soeharto digambarkan sebagai tokoh penyelamat nasional.
Guru dilarang menggunakan sumber lain selain buku resmi terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara di universitas, penelitian tentang 1965 hanya boleh dilakukan dengan izin Kopkamtib. Bahkan arsip sejarah pun disensor.
Peneliti asing yang mencoba mengakses dokumen negara tentang peristiwa itu sering ditolak, sementara saksi dan korban dilarang memberikan kesaksian publik.
Selama lebih dari tiga dekade, televisi, koran, dan radio dikelola seperti alat pengingat kolektif. Setiap tahun, berita dan pidato resmi memperingati “Hari Kesaktian Pancasila” dengan format yang sama: upacara di Lubang Buaya, pidato presiden, dan penegasan bahwa bahaya komunis belum berakhir.
Laporan Dalih Pembunuhan Massal menyebut metode ini sebagai repetisi ideologis, mengulang kebohongan sampai ia terdengar masuk akal. “Tidak ada propaganda yang lebih efektif dari kebiasaan,” tulis laporan itu.
Setiap upaya untuk menulis ulang sejarah dari sudut korban langsung ditekan. Buku-buku yang berusaha menyajikan versi lain seperti karya Pramoedya Ananta Toer atau laporan akademisi independen dilarang, disita, bahkan dibakar. Sementara penulisnya diawasi atau dipenjara.
Korban yang mencoba berbicara di depan publik dituduh “menyebarkan ajaran komunis baru.” Dengan begitu, negara bukan hanya menghapus ingatan, tapi menghapus hak untuk mengingat.
Setelah 1998, film propaganda memang tak lagi wajib diputar, tapi narasinya masih hidup di kepala banyak orang. Generasi yang tumbuh selama Orde Baru mewarisi persepsi yang sama: PKI adalah kejahatan, militer adalah pelindung bangsa.
Buku sejarah baru memang lebih terbuka, tapi tidak pernah menempatkan negara sebagai pelaku kekerasan. Kurikulum nasional tetap berhenti di satu kalimat: “Telah terjadi peristiwa G30S/PKI.” Tanpa konteks, tanpa korban.
Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

