Artikel Opini
Beranda » Ada struktur komando dan wilayah operasi: Dari Jawa ke Sumatera dan Bali pada Tragedi 1965

Ada struktur komando dan wilayah operasi: Dari Jawa ke Sumatera dan Bali pada Tragedi 1965

Tentara menangkap dan memamerkan sejumlah orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI di Blitar, Jawa Timur salah satunya adalah Putmainah, tokoh Gerwani dan anggota DPRD dari Fraksi PKI di Blitar. (Dok. Putmainah)

Jakarta – Tak ada yang spontan dalam pembunuhan massal 1965. Dari Jawa Tengah hingga Bali, dari Sumatera hingga Sulawesi, pola kekerasan yang muncul selalu sama: penangkapan, interogasi, eksekusi, lalu penguburan tanpa nama.

Menurut laporan Dalih Pembunuhan Massal, keseragaman ini bukan kebetulan, tapi bukti bahwa operasi kekerasan dijalankan lewat struktur komando militer yang terencana dan terkendali.

Pasca 1 Oktober 1965, pusat kekuasaan militer berada di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto melalui Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban).

Penyiksaan dan kekerasan seksual pasca Tragedi 1965, saat tubuh dijadikan medan politik

Dari markas di Jakarta, perintah turun ke seluruh Kodam (Komando Daerah Militer) melalui radiogram, telegram, dan kurir lapangan. Bahasanya formal dan halus: “mengamankan unsur-unsur G30S/PKI,” tapi maknanya jelas, tangkap, habisi, bersihkan.

Laporan Dalih Pembunuhan Massal menunjukkan bahwa pola operasi di tiap daerah hampir identik:

  • penangkapan massal berbasis daftar nama;
  • interogasi di markas militer atau kantor pemerintah;
  • eksekusi di lokasi tersembunyi seperti tepi sungai, kebun tebu, dan lapangan desa;
  • lalu penguburan massal yang dilakukan diam-diam di malam hari.

Komnas HAM menilai keseragaman ini mustahil terjadi tanpa koordinasi nasional yang ketat. “Di seluruh Indonesia, pembunuhan dilakukan dengan metode dan waktu yang berdekatan,” tulis laporan itu. “Ini bukan kerusuhan lokal, tapi operasi berskala negara.”

Sistem penahanan dan kamp tahanan pasca Tragedi 1965: Di Pulau Buru, Plantungan, dan pulau-pulau sunyi

Di Jawa Tengah, Kodam IV/Diponegoro menjadi pelaksana utama. Penangkapan dimulai pada Oktober 1965 dan berlangsung hingga pertengahan 1966. Saksi-saksi menyebut, setiap kecamatan memiliki “daftar hitam” warga yang akan ditangkap, daftar yang disiapkan oleh aparat militer dan aparat desa.

Di Jawa Timur, di bawah kendali Kodam V/Brawijaya, operasi dilakukan lebih brutal. Penahanan dilakukan di markas militer, gudang pabrik gula, dan kantor kecamatan. Banyak tahanan kemudian dikirim ke Blitar Selatan untuk dieksekusi massal.

Salah satu saksi yang dikutip dalam Dalih Pembunuhan Massal mengatakan: “Kami tidak pernah tahu alasan ditangkap. Hanya diberi tahu bahwa kami harus diam karena negara sedang ‘dibersihkan.’”

Militer dan milisi dalam Tragedi 1965, kolaborasi untuk “pembersihan”

Di dua provinsi ini pula, kolaborasi dengan kelompok sipil seperti Banser dan Pemuda Ansor berlangsung masif. Mereka diberi mandat sebagai pelaksana lapangan, sementara militer mengatur daftar dan logistik.

Di Sumatera Utara, Kodam I/Bukit Barisan menerapkan pola berbeda. Militer di sana memanfaatkan struktur administrasi pemerintahan sipil dan polisi untuk menahan ribuan orang.

Tahanan dipusatkan di markas Kodim, kantor kabupaten, dan lapangan terisolasi. Penangkapan juga menyasar buruh perkebunan yang dianggap simpatisan PKI. Beberapa perusahaan asing, termasuk perusahaan tembakau dan karet yang beroperasi di Deli Serdang dan Langkat, disebut ikut memberikan dukungan logistik kepada aparat militer.

Ada instruksi dari puncak pada Tragedi 1965: Bagaimana perintah pembunuhan menyebar

“Operasi di Sumatera Utara menunjukkan bahwa kepentingan politik dan ekonomi berjalan beriringan,” tulis laporan Dalih Pembunuhan Massal.

Bali menjadi salah satu wilayah dengan jumlah korban terbesar. Di bawah komando Kodam IX/Udayana, pembunuhan massal terjadi hampir di setiap kabupaten. Struktur sosial yang kuat dan sistem adat justru dimanfaatkan untuk melancarkan kekerasan.

Militer bekerja sama dengan kepala banjar dan tokoh adat untuk mengidentifikasi warga yang dituduh simpatisan PKI. Mereka kemudian dikumpulkan di balai desa, diinterogasi, dan sebagian besar dieksekusi di sungai-sungai atau ladang.

Saksi dari Gianyar yang dikutip dalam Dalih Pembunuhan Massal menggambarkan keheningan pasca-eksekusi: “Setiap pagi, kami melihat potongan pakaian mengambang di sungai. Tidak ada yang berani bicara.”

Laporan itu menegaskan bahwa kekerasan di Bali memiliki pola militeristik yang sama dengan Jawa: identifikasi, pengumpulan, dan eksekusi massal dengan dukungan aparat lokal.

Di Sulawesi Selatan, struktur operasi di bawah Kodam XIV/Hasanuddin fokus pada penangkapan dan penghilangan. Banyak tahanan dibawa ke markas militer dan tidak pernah kembali.

Sementara di Nusa Tenggara Timur, pembunuhan dilakukan dalam skala lebih kecil tapi tetap dalam pola yang sama, dengan dukungan aparat pemerintah daerah dan kelompok sipil.

Dari seluruh kesaksian dan data lapangan, laporan Dalih Pembunuhan Massal menyimpulkan: “Konsistensi pola kekerasan di berbagai daerah adalah bukti adanya komando pusat. Tidak ada operasi sebesar ini yang bisa berjalan tanpa koordinasi nasional.”

Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

×