Jakarta – Tragedi 1965 di Indonesia bukan hanya urusan dalam negeri. Di balik deretan pembunuhan, penangkapan, dan propaganda, terselip jejak tangan asing yang ikut menata arah sejarah negeri ini.
Laporan Dalih Pembunuhan Massal menunjukkan bahwa kekerasan pasca-G30S tidak bisa dilepaskan dari konteks global: Perang Dingin, ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet saling berlomba menanamkan pengaruh ideologi di Asia.
Indonesia yang saat itu dipimpin Sukarno berdiri di tengah-tengah, tapi bagi Washington, sikap “non-blok” itu tidak pernah benar-benar netral.
Awal 1960-an, Indonesia dianggap negara strategis. Populasinya besar, sumber dayanya melimpah, dan posisinya penting dalam rantai geopolitik Asia Tenggara. Tapi kebijakan Sukarno yang dekat dengan Beijing dan Moskow membuat Amerika khawatir Indonesia akan “jatuh ke tangan komunis.”
Dokumen deklasifikasi pemerintah AS yang dikutip dalam Dalih Pembunuhan Massal mengungkap bahwa CIA dan Departemen Luar Negeri AS secara aktif memantau situasi politik di Jakarta sejak 1963.
Salah satu laporan intelijen bertajuk “The Communist Threat in Indonesia” (1965) menyebut PKI sebagai ancaman terbesar bagi kepentingan Barat di Asia Tenggara.
Tak lama setelah peristiwa 30 September, AS langsung menyatakan dukungan terhadap langkah militer Indonesia.
Kedutaan Besar AS di Jakarta disebutkan secara rutin mengirimkan daftar nama tokoh PKI dan simpatisan kepada Angkatan Darat, daftar yang kemudian digunakan untuk operasi “pembersihan.”
“Hubungan itu bukan rahasia,” tulis laporan Dalih Pembunuhan Massal. “Bahkan beberapa pejabat AS kemudian mengakuinya di depan publik sebagai bagian dari strategi anti-komunis global.”
Selain bantuan informasi, Amerika juga menjalankan kampanye propaganda global untuk membenarkan aksi militer Indonesia. Melalui jaringan media seperti Voice of America (VOA) dan kantor berita Reuters, mereka menyiarkan narasi bahwa “tentara Indonesia sedang menyelamatkan negaranya dari ancaman kudeta komunis.”
Di Washington, tokoh-tokoh pemerintahan Lyndon B. Johnson memuji keberhasilan Soeharto sebagai “kemenangan demokrasi di Asia.” Sementara di Jakarta, propaganda ini disebar ulang oleh media nasional, menegaskan bahwa pembunuhan massal adalah bagian dari “pembersihan ideologi berbahaya.”
Laporan Dalih Pembunuhan Massal menyebut, propaganda asing dan domestik saling menopang, menciptakan ilusi bahwa kekerasan adalah tindakan penyelamatan nasional, bukan kejahatan kemanusiaan.
Selain dukungan politik, ada pula aliran bantuan material. Beberapa arsip AS dan Inggris menunjukkan bahwa militer Indonesia menerima pasokan peralatan komunikasi, kendaraan, bahkan senjata ringan dari Barat selama periode 1965–1966.
Bantuan itu tidak selalu langsung dalam bentuk senjata, tapi disalurkan lewat program pelatihan, konsultan, dan “bantuan ekonomi darurat.”
Sementara itu, Inggris ikut bermain di medan propaganda. Melalui jaringan Information Research Department (IRD), lembaga propaganda rahasia pemerintah Inggris, disebarkan artikel dan pamflet yang menggambarkan PKI sebagai kekuatan kejam yang harus dihancurkan.
“Dokumen-dokumen itu kini terbuka,” tulis laporan tersebut, “dan membuktikan bahwa perang ideologi di Indonesia dijalankan bukan hanya oleh senjata, tapi juga oleh kata-kata.”
Di tengah semua itu, Presiden Sukarno semakin terjepit. Setelah peristiwa G30S, kekuasaannya perlahan direbut oleh militer yang didukung Barat. Sukarno mencoba melawan dengan seruan “revolusi belum selesai”, tapi dunia sudah berubah. Amerika dan sekutunya memilih Soeharto sebagai mitra baru yang lebih bisa “diatur.”
Pada 1967, Sukarno resmi dilengserkan, dan Indonesia masuk ke era baru: Orde Baru, rezim militer yang mendapat legitimasi internasional penuh karena dianggap “penyelamat dari komunisme.”
Bagi Washington, pembunuhan massal di Indonesia bukan tragedi, melainkan kemenangan strategis. Dalam laporan rahasia yang kini sudah dibuka ke publik, seorang pejabat CIA menulis dengan dingin:
“Indonesia telah berubah dari negara yang condong ke kiri menjadi salah satu sekutu paling menjanjikan di Asia.”
Tapi di balik kemenangan itu, jutaan orang kehilangan keluarga, pekerjaan, dan masa depan. Ratusan ribu dibunuh, jutaan lainnya dibungkam dalam ketakutan yang diwariskan selama puluhan tahun.
Barat menyebutnya stabilitas. Militer menyebutnya keamanan. Tapi bagi para korban, itu hanyalah pembenaran bagi kejahatan yang dilakukan atas nama ideologi global.
Sumber: Buku Dalih Pembunuhan Massal – John Roosa

