Artikel Opini
Beranda » Sumber hukum eksekusi dalam hukum acara perdata

Sumber hukum eksekusi dalam hukum acara perdata

Contoh plang eksekusi lahan perkara perdata oleh pengadilan negeri
Contoh plang eksekusi lahan perkara perdata oleh pengadilan negeri

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR dan RBg.

Berdasarkan pandangan tersebut, hal menjalankan putusan hakim diatur dalam Bagian kelima, mulai pasal – pasal 195 s.d 224 HIR/S. 1941 No. 44 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dan dalam Bagian keempat pasal – pasal 206 s.d. 258 RBg./S 1927 No. 227 di luar wilayah itu.

Oleh sebab itu, ketua pengadilan negeri atau panitera ataupun juru sita harus merujuk pada pasal – pasal yang diatur dalam bagian dimaksud apabila hendak melakukan eksekusi. Pada bagian tersebut telah diatur pasal – pasal tata cara menjalankan putusan pengadilan, mulai dari:

Soroti pendirian pos pengawasan tambang, aktivis PMII ini beri catatan Pemkab Blitar

1. Tata cara peringatan (aanmaning)

2. Sita eksekusi (executoriale beslag)

3. Penyanderaan (gizjzeling).

The unique name of Gondo Mayit Beach in Blitar, scary and makes you curious

Mengenai gijzeling (sandera), diatur dalam Pasal 209 – 223 HIR/242 – 256 RBg. Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975, mengintruksikan kepada ketua pengadilan dan hakim untuk tidak menerapkan ketentuan gijzeling (sandera) sebagaimana diatur dalam Pasal 209 – 223 HIR/242 – 258 RBg karena dinilai bertentangan dengan perikemanusiaan.

Kedua surat edaran Mahkamah Agung tersebut dicabut dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan (lijfdwan – bahasa Belanda, imprisonment of civil debt – bahasa Inggris).

Menurut Perma tersebut, paksa badan bersifat universal dan dapat dikenakan terhadap debitur yang mampu membayar utang – utangnya, tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya.

Ajang camping jadi sarana kolaborasi Paguyuban Media Blitar 

Debitur demikian telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih besar daripada pelaksanaan paksa badan atas dirinya. Dikatakan melanggar hak asasi manusia ketika, dana yang dipinjam itu tidak dikembalikan akan mempersulit kegiatan perekonomian dalam negara.

Hal yang terkait dengan menjalankan putusan hakim diatur dalam bagian kelima mulai pasal – pasal 195 s.d. 224 HIR atau Stb. 1941 No. 44 yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah di luar pulau Jawa dan Madura digunakan bagian keempat pasal – pasal 206 s.d. 250 RBg atau Stb.1927 No. 227.

Peraturan ini tidak hanya mengatur cara menjalankan eksekusi putusan pengadilan, tetapi memuat juga pengaturan tentang upaya paksa dalam eksekusi, yakni sandera, sita eksekusi, atau upaya lain berupa perlawanan (Verzet) serta akta autentik yang memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan dengan putusan yaitu akta grosse hipotik dan surat utang dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

The interesting side of Sawentar Temple in Kanigoro Blitar Indonesia

Dalam Undang – undang (darurat) No. 1 Tahun 1951 tidak terdapat perkecualian terhadap berlakunya Hukum Acara Perdata. Oleh sebab itu, berlaku penuh kedua Undang – undang mengenai acara perdata.

Cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi diatur mulai Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR, tetapi saat ini tidak semua ketentuan pasal – pasal tersebut berlaku secara efektif.

Adapun yang masih benar – benar berlaku efektif adalah Pasal 195 sampai dengan Pasal 208 dan Pasal 224 HIR. Pasal 209 sampai dengan Pasal 222 HIR yang mengatur tentang sandera, tidak lagi diperlakukan secara efektif. Seorang debitur yang dihukum “Disandera” sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2/1964 tanggal 22 Januari 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04/1975 tanggal 1 Desember 1975 membekukan keberlakuan Pasal 209 sampai Pasal 222 HIR karena sandera bertentangan dengan salah satu sila dari dasar falsafah negara Indonesia, yakni sila kedua.

Oleh karena itu, berdasarkan Surat Edaran diatas, sandera dilarang untuk diberlakukan (vide putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Februari 1975 Reg. No. 951K/Sip/1974, termuat dalam “DIAN YUSTISIA”, Pengadilan Tinggi Bandung, 1978, hlm. 378 – 382).

Selain peraturan tersebut, masih ada peraturan lain yang dapat menjadi dasar penerapan eksekusi, yaitu sebagai berikut.

1. Undang – Undang tentang Pokok – Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 33 ayat (4), yaitu tentang kewajiban hukum yang bersendikan norma – norma moral, dimana dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.

2. Pasal 33 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1970 juncto Pasal 60 UU No. 2 Tahun 1985 tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa yang melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata adalah panitera dan juru sita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.

3. Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama diatur dalam Stb.1982 No. 152 Pasal 2 ayat (5) menyatakan, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan – aturan biasa tentang menjalankan keputusan – keputusan Pengadilan Umum dalam perkara ini dan Stb. 1937 No. 63 – 639, Pasal 3 ayat (5) alinea 3 berbunyi, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan – aturan menjalankan keputusan Sipil Pengadilan Negeri (Peraturan Pemerintah No. 45/1957 Pasal 4 ayat (5) dan pasal – pasal lain yang berhubungan).

4. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan Pasal 5 dinyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi.

5. SEMA No. 4 Tahun 1975 menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan pada orang yang sudah tidak mungkin lagi dapat melunasi hutang – hutangnya dan kalau disandera dan karena itu kehilangan kebebasan bergerak, ia tidak lagi ada kesempatan untuk berusaha mendapatkan uang atau barang – barang untuk melunasi hutangnya.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dasar hukum eksekusi sebagai realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam suatu perkara, telah diatur dalam berbagai ketentuan yaitu Pasal 195 – Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR/Pasal 206 – Pasal 240 RBg dan Pasal 258 RBg (tentang tata cara eksekusi secara umum).

Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu); Pasal 209 – Pasal 223 HIR/Pasal 242 – Pasal 257 RBg, yang mengatur tentang “sandera” (gijzelling), tetapi tidak lagi diberlakukan secara efektif sekarang ini. Pasal 180 HIR/Pasal 191 RBg, SEMA No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu serta merta uitvoerbaar bij voorraad dan provisi); Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil), dan Pasal 54 dan Pasal 55 UU No. 48 Tahun 2009 (tentang pelaksanaan putusan pengadilan).

Peraturan tersebut tidak hanya mengatur cara menjalankan eksekusi putusan pengadilan, tetapi memuat juga pengaturan tentang upaya paksa dalam eksekusi, yakni sandera, sita eksekusi, upaya lain berupa perlawanan (verzet) serta akta autentik yang memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan dengan putusan, yakni akta grosse hipotik dan surat hutang. Begitu pula dalam Undang – Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tidak terdapat pengecualian terhadap berlakunya hukum acara perdata sehingga berlaku penuh mengenai acara perdata.

Adapun dalam cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi diatur mulai Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR. Namun, saat ini tidak semua ketentuan – ketentuan pasal – pasal tersebut berlaku secara efektif, kecuali Pasal 209 sampai dengan Pasal 222 HIR yang mengatur tentang “sandera”, tidak lagi diberlakukan secara efektif.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2/1964 tanggal 22 Januari 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04/1975 tanggal 1 Desember 1975 membekukan keberlakuan Pasal 209 sampai Pasal 222 HIR karena sandera bertentangan dengan salah satu sila dari dasar negara, yaitu bertentangan dengan sila perikemanusiaan, salah satu sila Pancasila. Oleh karena itu, berdasarkan surat edarannya diatas sandera dilarang untuk diperlakukan.

×