Penjajahan Spanyol atas Filipina merupakan salah satu episode penting dalam sejarah kolonialisme global yang berlangsung selama lebih dari tiga abad. Sejarah ini dimulai ketika Ferdinand Magellan (Ferdinand Magelihans), pelaut Portugis dalam pelayaran di bawah panji Spanyol, tiba di Kepulauan Filipina pada tahun 1521.
Ekspedisinya menjadi yang pertama mencatat keberadaan Filipina di peta kekuasaan Eropa. Meskipun Magellan tewas dalam pertempuran melawan kepala suku Lapu-Lapu di Mactan, ekspedisinya membuka jalan bagi misi penaklukan dan misionaris Katolik Spanyol di Asia Tenggara.
Pada tahun 1565, Miguel López de Legazpi memimpin ekspedisi lanjutan yang berhasil mendirikan koloni pertama Spanyol di Cebu. Kolonisasi ini mengawali masa ketika Filipina secara resmi menjadi bagian dari koloni Kerajaan Spanyol (1565–1821).
Dalam periode ini, Filipina dijadikan perpanjangan kekuasaan dari Viceroyalty of New Spain yang berpusat di Meksiko. Sistem kolonial diperkuat dengan pengaruh kuat Gereja Katolik, pemaksaan konversi agama, dan penguasaan atas tanah oleh bangsa Eropa yang secara bertahap mengikis kedaulatan lokal dan struktur sosial adat.
Setelah Meksiko memperoleh kemerdekaan dari Spanyol pada 1821, Filipina menjadi provinsi yang secara langsung dikendalikan oleh Kerajaan Spanyol yang berpusat di Madrid. Perubahan administratif ini tidak banyak mengubah kenyataan rakyat Filipina yang hidup di bawah penindasan kolonial.
Sistem encomienda dan pajak berat tetap diberlakukan, sementara pendidikan serta partisipasi politik hampir seluruhnya dimonopoli oleh elit kolonial dan pihak gereja. Namun demikian, era ini juga menandai tumbuhnya kaum terpelajar Filipina yang kelak akan memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan.
Pada tahun 1880, sekelompok mahasiswa Filipina yang menempuh pendidikan di Eropa mendirikan gerakan Companerismo (Gerakan Persahabatan). Organisasi ini muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan kolonial dan bertujuan menumbuhkan semangat patriotisme melalui pendidikan, solidaritas, dan kesadaran identitas nasional.
Gerakan ini menjadi fondasi awal dari kebangkitan nasionalisme Filipina, di mana pendidikan modern menjadi senjata utama dalam melawan penjajahan secara intelektual.
Salah satu tokoh terpenting dalam kebangkitan ini adalah Jose Rizal, seorang dokter dan intelektual yang juga aktif di kancah pergerakan. Pada tahun 1886, Rizal menerbitkan novel Noli Me Tangere (Jangan Sentuh Aku) yang dengan tajam mengkritik kekejaman pemerintahan kolonial Spanyol dan dominasi pihak gereja.
Novel ini menggambarkan penderitaan rakyat dan kemunafikan para penjajah yang membuat Rizal segera menjadi tokoh yang sangat berpengaruh sekaligus musuh negara bagi otoritas kolonial.
Upaya Rizal semakin konkret saat ia mendirikan Liga Filipina pada 3 Juli 1892. Liga ini bertujuan untuk mereformasi sistem kolonial melalui cara-cara damai seperti pendidikan, kerja sama ekonomi, dan partisipasi dalam pemerintahan.
Namun Liga Filipina dibubarkan secara paksa, dan Rizal diasingkan ke Mindanao pada 6 Juli 1892. Di tengah kekecewaan terhadap pendekatan moderat, lahirlah gerakan revolusioner yang lebih radikal yaitu Katipunan, yang didirikan oleh Andres Bonifacio pada tahun 7 Juli 1892. Organisasi ini bersifat rahasia dan bersumpah untuk mengusir penjajah dengan kekuatan senjata.
Puncak ketegangan terjadi pada akhir 1896, ketika Jose Rizal ditangkap dan dieksekusi pada tanggal 30 Desember 1896 karena dituduh mendalangi pemberontakan. Kematian Rizal menyulut amarah rakyat dan mempercepat perlawanan bersenjata yang dipimpin oleh Emilio Aguinaldo.
Revolusi Filipina pun pecah dan Spanyol mulai kehilangan kendali atas wilayah-wilayahnya. Pada tahun 1897, Spanyol akhirnya menawarkan perjanjian damai yang dikenal sebagai Perjanjian Biac-na-Bato yang menjanjikan reformasi dalam tiga tahun jika Aguinaldo dan para pemimpin lainnya setuju untuk diasingkan ke Hongkong. Namun janji tersebut tidak pernah ditepati, perlawanan pun terus berlanjut.
Sementara itu, di belahan dunia lain, meletuslah Perang Spanyol-Amerika pada tahun 1898 yang mempertemukan dua kekuatan besar dalam perebutan koloni global. Fokus Spanyol bergeser dari Asia ke Laut Karibia, memberikan peluang besar bagi kaum revolusioner Filipina.
Emilio Aguinaldo kembali ke tanah air dan pada 12 Juni 1898 memproklamasikan kemerdekaan Filipina di Kawit, Cavite. Ini menjadi momen puncak dari perjuangan panjang rakyat Filipina melawan penjajahan Spanyol, yang menandai berakhirnya kekuasaan kolonial lebih dari 300 tahun.
Namun kemerdekaan yang diproklamasikan tersebut tidak bertahan lama. Dalam perjanjian damai antara Spanyol dan Amerika Serikat, Filipina diserahkan kepada Amerika melalui Perjanjian Paris. Hal ini menjadi awal dari babak baru penjajahan yang kini datang dari Barat dalam rupa penjajahan Amerika Serikat.
Meski bentuknya berubah, perjuangan rakyat Filipina untuk kemerdekaan sejati belumlah selesai. Jalan panjang menuju kedaulatan nasional akan terus berlanjut dalam menghadapi kolonialisme baru.