Hari ini, 5 Agustus 2025, Blitar merayakan hari jadi yang ke‑701. Pemerintah kabupaten menampilkan data yang tampak membanggakan seperti, kemiskinan menurun menjadi 8,16%, investasi DBHCHT mencapai Rp 36,2 miliar sekaligus pariwisata meningkat.
Namun sebagai aktivis mahasiswa yang sehari-hari menyaksikan wajah asli Blitar, saya melihat bahwa angka-angka itu tidak sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan.
Berdasarkan data BPS Maret 2024, kemiskinan di Kabupaten Blitar memang turun dari 8,69% pada 2023 menjadi 8,16% atau 95.910 jiwa. Garis kemiskinan berada di angka Rp 408.399 per kapita per bulan, dengan kedalaman kemiskinan (P1) 0,80 dan keparahan (P2) 0,12 (BPS Blitar).
Namun, penurunan hanya 0,53 poin ini terlalu kecil untuk disebut prestasi besar, apalagi jika dihadapkan pada realitas di desa-desa Blitar Selatan, di mana banyak keluarga masih hidup di bawah standar layak.
Ketimpangan pun semakin terasa. Gini rasio Kabupaten Blitar naik dari 0,335 (2022) menjadi 0,360 (2023), yang berarti pertumbuhan hanya dinikmati segelintir pihak. Ketika pusat kota berkembang, desa-desa tertinggal semakin terpinggirkan.
Bahkan tipologi ekonomi menempatkan Blitar dalam kategori low growth & low income, menunjukkan bahwa daerah ini masih belum mampu mengejar kota-kota di Jawa Timur seperti Malang atau Sidoarjo yang menjadi pusat ekonomi baru.
Lalu bagaimana dengan klaim pemerintah soal DBHCHT 2025 sebesar Rp 36,2 miliar? Faktanya, 10% atau Rp 2,6 miliar dialokasikan untuk penegakan hukum, sementara sebagian besar anggaran lainnya diarahkan pada sosialisasi dan operasi administratif seperti pemberantasan rokok ilegal.
Sementara itu, program pemberdayaan ekonomi yang benar-benar menyentuh masyarakat miskin nyaris tidak terdengar gaungnya.
Penegakan hukum di Blitar pun masih menjadi keprihatinan. Meski pemerintah mengklaim adanya koordinasi rutin dengan aparat penegak hukum, tidak ada transparansi tentang kasus korupsi yang melibatkan elit lokal atau penyelesaian sengketa agraria yang menahun.
Alih-alih menegakkan keadilan, hukum di Blitar justru lebih sering digunakan untuk mengatur hal-hal administratif kecil ketimbang membongkar masalah-masalah besar yang menjerat rakyat.
Tentunya sebagai aktivis, saya menolak sikap pemerintah yang menjadikan angka sebagai pelindung atas kinerja mereka. Penurunan kemiskinan yang stagnan, ketimpangan yang melebar serta fokus anggaran yang lebih banyak mengatur ketimbang memberdayakan menunjukkan bahwa pembangunan di Blitar lebih bersifat “kosmetik”. Angka memang turun di atas kertas, tetapi realitas di lapangan tidak ikut berubah.
Hari jadi ke‑701 ini seharusnya menjadi momentum koreksi, bukan sekadar pesta pora seremonial. Jika pemerintah Kabupaten Blitar tidak berani menggeser prioritas dari pencitraan menuju pemerataan, dari operasi administratif menuju pemberdayaan ekonomi rakyat, maka Blitar hanya akan jadi contoh klasik tentang bagaimana pembangunan gagal menyentuh yang paling membutuhkan.
Pertanyaannya sederhana kini, maukah kita terus merayakan angka penuh pencitraan itu dan mengulang pola yang sama, atau mulai menuntaskan ketidakadilan?. (Blt)