Hari ini pergerakan tercinta telah menapaki tahun Ke – 65 dari kehidupannya. Cukup terlihat samar tapi tampak nyata bahwa tantangan hari esok menunjukkan masa yang lebih berat untuk dilalui.
Tulisan dalam memperingati hari lahir PMII kali ini tidak membahas tentang proses historis organisasi, catatan kritis terhadap struktural ataupun mempersoalkan capaian pendidikan kader-kader di organisasi bahkan tidak akan menyentuh produk hukum keorganisasian seperti biasa.
Hal tersebut di karenakan tahun ini hampir setengah dasawarsa, penulis sekaligus kader ini masuk pergerakan tercinta sehingga sudah waktunya untuk merefleksikan perjalanan ataupun dapat dijadikan kesan terakhir di komisariat sebelum mangkat di akhir periode kepengurusan.
Berbicara tentang aspek gerakan PMII telah banyak memberikan pembelajaran penting. Jenjang kaderisasi formal mulai dari Mapaba (Masa Penerimaan Anggota Baru), PKD (Pelatihan Kader Dasar) hingga PKL (Pelatihan Kader Lanjut), rasa-rasanya selalu memberikan arti bahwa perjalanan agar mendekati kader yang dapat dikatakan tuntas memang harus sistematis.
Seperti halnya cara kader mengamati masalah sosial di sekitar lalu meletakkannya menjadi beberapa uraian permasalahan kemudian kader tersebut menganalisnya secara intensif. Akhirnya, tercipta sebuah wacana yang mampu menghasilkan gerakan konkret guna menghadirkan solusi terhadap persoalan sesuai kajian.
Meskipun begitu, tapi nampaknya tak selalu berjalan dengan baik. Terkadang wacana yang dihasilkan hanyalah sebuah temuan semu belaka tanpa tahu bagaimana cara untuk menyelesaikannya malah seringkali kader mengacaukan dengan ketidaktahuan dan kebodohan kronis akibat tak didukung kualitas yang seimbang antara fikiran dan kepekaan hingga peluang terhempas sia – sia.
Misalnya kita dapat cermati contoh kecilnya, hampir dua tahun terakhir setiap kali PMII turun aksi terlihat jarang sekali Koordinator Aksi Lapangan dari kader PMII yang muncul. Kebanyakan dari kita sibuk tunggu momentum remeh seperti (chaos) dengan aparat atau lebih parah hanya menjadi penyemarak saja. Sederhananya kita kekurangan kader yang mampu mengangkat eksistensi gerakan aksi di lapangan, kebanyakan kita malah jadi penonton gerakan.
Selanjutnya, gerakan aksi yang di desain pun kurang begitu menarik (perspektif penulis). Kebanyakan atau bahkan aksi di lapangan hanya didasarkan dengan isu nasional yang kurang aktual dan minim kajian. Kurangnya konsistensi dalam membuat wadah pemikiran menjadi kecatatan tersendiri dalam tubuh struktural.
Iklim diskusi yang belum bisa terbangun secara kondusif melahirkan kader – kader kurang akomodatif sehingga hanya tenggelam dalam keadaaan yang seakan – akan penuh romantisme perjuangan aksi. Padahal kelas-kelas dialektika jelas dibutuhkan kader untuk memenuhi pengetahuannya, perlu diingat kemampuan membangun wacana progresif merupakan cikal bakal gerakan.
Kemudian, di tengah keadaan menuju kematangan organisasi pada usia ke – 65 ini, serta hampir tiga dekade PMII berdiri di wilayah ini seringkali masih di jumpai banyaknya periodesasi pengkaderan yang mangkrak.
Maksud pernyataan ini adalah, sikap cukup miris dari penulis yang melihat banyak dari pengurus bahkan mereka yang sudah demisioner ternyata hanya menjalani proses awal perekrutan saja. Hal ini diperparah dengan prosentase mereka yang ikut Mapaba (Masa Penerimaan Baru) tak sebanding ketika dilaksanakannya (PKD) Pelatihan Kader Dasar. Sungguh kenyataan cukup tragis mengingat sederhanya, seorang anggota dapat dikatakan sebagai kader PMII adalah ketika mengikuti PKD (Pelatihan Kader Dasar).
Terkadang muncul ungkapan menyebalkan saat seorang anggota mempertanyakan relevansi terhadap pelatihan kader dasar, saat banyak dari mereka yang sudah menyelesaikan jenjang pengkaderan hingga tingkat lanjut pun nyatanya enggan berkhitmah sesuai tingkatan struktural.
Kita dudukkan ini dengan logika pengkaderan, bagaimana mungkin seseorang yang menyepelekan proses kaderisasi mampu memperjuangkan organisasi ini lebih dalam. Kalaupun mereka berkenan, mungkin hasil kinerja tak akan maksimal. Karena untuk menghormati proses keorganisasian berbasis jenjang pengkaderan, memang membutuhkan loyalitas tinggi dan kesadaran penuh keorganisasian.
Belum lagi permasalahan, mereka yang tuntas kaderisasi namun enggan untuk berkhidmah. Ini memang menjadi problematika tersendiri dalam ranah keorganisasian kita. Para kader yang sudah menyelesaikan kaderisasi minimal hingga tingkat lanjut harusnya muncul kedewasaan untuk menjadi pioner pergerakan yang mampu melaksanakan fungsional keorganisasian.
Memang menjadi masalah ketika proses pengkaderan hanya dipandang sebagai bentuk “event” semata tanpa adanya kesadaran mempersiapkan dirinya menjadi martir untuk organisasi dan menumbalkan diri menjadi penggerak sosial di masyarakat.
Bahkan yang lebih parah adalah tergiurnya para kader yang sudah tuntas bahkan mereka yang belum menyelesaikan kaderisasinya dan harusnya masih berkhidmah justru menjual idealismenya agar mendapatkan kepentingan pragmatis yang haram hukumnya bagi seorang kader menyentuh ranah materil.
Menjijikkan sekaligus memalukan, saya rasa inilah penyakitnya. Dengan seluruh kenyataan ini semua maka jangan harap kita mampu mencapai kehidupan organisasi mapan secara kuantitas dan kualitas jika mengulang pola yang sama.
Sebelumnya terkait kaderisasi yang merupakan masalah vital keorganisasian, karena hanya dengan pertambahan kader organisasi itu mampu melahirkan regenerasi untuk mendukung keberlanjutan struktural. Permasalahan organisasi di wilayah ini cukup kompleks, tapi tak se-kompleks permasalahan yang terjadi di komisariat Kampus Umum.
Ini adalah titik lemah organisasi yang tak mampu menyentuh salah satu wilayah yang sulit satu ini. Mungkin kita melalui proses historis keorganisasian perlu ingat, hal ini juga pernah masuk dalam model – model perekayasaan PMII masuk kampus umum yang pernah di jalankan oleh Pengurus Besar (PB) PMII dimulai sejak tahun 1980 an hingga kini.
Tapi yang ingin saya tekankan bukan hanya masuk sebagai kekuatan dengan mempertahankan “status quo” namun menjadi kebulatan tekad menguasai jalan kaderisasi di tempat tersebut. Mungkin sulit? Memang, nyatanya saja hingga kini tak ada formulasi yang tepat akan hal ini. Insya Allah, berbekal keyakinan dan konsistensi hal tersebut secara perlahan tapi pasti akan tercapai.
Dalam masalah lain misalnya terkait bargaining position, acapkali jadi permasalahan. Pergerakan di wilayah ini belum sama sekali menyentuh aspek fundamental institusi, yakni soal kinerja birokrasi sesuai dengan asas – asas umum pemerintahan yang baik (AAUB).
Misalnya dalam hal transparansi anggaran di sektor kelembagaan pemerintah daerah ataupun kinerja dalam menjaga keadilan di masyarakat seperti cita PMII pun masih nihil dilakukan. Absennya pergerakan di dua ranah kecil tersebut, membuktikan bahwa belum tercipta organisasi sebagai kekuatan moral di lingkungan yang menjadi wahana organisasi dalam menjalankan arah geraknya belum mampu mengangkat dirinya untuk martir sosial yang mengawasi hegemoni negara di keseluruhan kepanjangan tangan kekuasaan.
Sekiranya itu sedikit kegundahan penulis yang merupakan salah satu kader yang terus berjuang dan mencoba menghidupkan nalar – nalar kritis melalui dialektika. Kalaupun tak mampu terealisasi konkret atas segala masalah tersebut, minimal seperti biasa menjadi gerutu dalam diri.
Selamat Hari Lahir Pergerakanku Ke – 65!