Haul Ke - 5 KH. Ahmad Bagja: Memimpin di Era Transisi Independensi PMII, Inspirator Pergerakan di Kampus Umum

Haul Ke - 5 KH. Ahmad Bagja: Memimpin di Era Transisi Independensi PMII, Inspirator Pergerakan di Kampus Umum
(Foto: Istimewa)
Drs. KH. Ahmad Bagja lahir di Kuningan Jawa Barat, 13 Maret 1943 - wafat 6 Februari 2020. Merupakan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PMII 1977 - 1981 dan Sekjen PBNU 1989 - 1994. Ia adalah putra ketujuh dari pasangan Muhammad Tohir Husein dan Arkasih. 

Ia lahir dan dibesarkan dari kalangan petani yang berjiwa santri. Kiai Ahmad Bagja sangat jarang bertemu dengan sang ayah karena kesibukannya sebagai tentara Hizbullah Kuningan yang bermarkas di Lebakwangi.

Dalam dunia pendidikan, KH Ahmad Bagja menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Kemasyarakatan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sempat ditempatkan di Kampus IAIN Pacet, Cianjur tetapi terhenti karena aksi demonstrasi mahasiswa pada 1966. 

Lalu ia kembali melanjutkan pendidikan dan menyelesaikan pendidikan di IAIN tahun 1969. Selama menjadi mahasiswa ia aktif sebagai Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) IAIN Pacet, Cianjur.

Karena obsesinya ingin melebarkan sayap PMII, pada tahun 1970 ia kuliah lagi di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Disana ia merintis PMII Komisariat UNJ untuk pertama kalinya. Keyakinan Kiai Ahmad Bagja saat itu bahwa kampus IKIP Jakarta mesti menjadi proyek percontohan awal untuk memulai gerakan untuk mengubah wajah baru PMII di kampus umum. Hal itu membuat dirinya mengajak mahasiswa lain untuk berkolaborasi mengembangkan PMII.

Gagasannya mengenai basis PMII dari kampus agama ke kampus umum berhasil diraih hingga membuat PMII UNJ semakin besar dan masif dalam bergerak hingga sekarang. Berkat idenya tersebut PMII setelahnya berhasil masuk ke kampus - kampus umum saat itu, bahkan gagasannya masuk dalam pembahasan pada Kongres Ke - V PMII di Ciloto Jawa Barat pada 23-28 Desember 1973. Bahkan setelahnya Kiai Ahmad Bagja menjadi Sekjen PMII Periode 1973 1977 dibawah kepemimpinan Ketua Umum PB Drs. Abduh Paddare.

Setelah kepemimpinan Drs. Abduh Paddare sebagai Ketua Umum PB PMII Periode 1973 - 1977. Pada Kongres Ke VI tanggal 8 - 12 Oktober 1977 di Wisma Tanah Air Jakarta, Kiai Ahmad Bagja dan Muhyiddin Arubusman terpilih menjadi Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PB PMII Periode 1977-1981. 

Perjalanan organisasi dalam kepengurusannya nampak kurang sehat, sehingga diperlukan adanya penyegaran agar dinamika organisasi berjalan sesuai yang diharapkan. Untuk itu PB PMII mengadakan resuffle kepengurusan pada tanggal 7 Oktober 1979.

Meskipun begitu dalam kepengurusan Kiai Ahmad Bagja telah melahirkan terobosan - terobosan yang cemerlang seperti membina dan mengembangkan koordinator cabang, cabang serta anggota PMII se Indonesia termasuk menambah cabang cabang baru. 

Usaha PB PMII dalam mengembangkan cabang cabang ini dilakukan dengan turun bawah kedaerah. Ternyata cara itu cukup berarti bagi pembinaan pergerakan menambah gairah aktivitas pergerakan di daerah.

Mengingat pada masa itu, kehidupan PMII setelah memasuki masa independen dapat dikatakan dalam keadaan labil. Bagi PMII, deklarasi independen merupakan suatu upaya melahirkan kehidupan yang lebih dewasa dan mandiri. Harus diakui bahwa sikap NU terhadap PMII sebelum maupun sesudah independen tetap sebagai bapak sayang kepada anaknya. 


Tetapi persoalannya tidak sampai disitu, ketergantungan PMII pada NU tidak hanya sebatas finansial tetapi sesungguhnya lebih dari itu. Suatu contoh dalam pengembangan PMII, lembaga pendidikan Ma'arif yang memiliki sejumlah perguruan tinggi dan PMII selalu mendudukkan wakilnya di lembaga itu. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga eksistensi PMII dan berkembang di Perguruan Tinggi milik NU.

Seperti yang diketahui setelah pernyataan independen, persoalannya menjadi lain. Secara drastis tidak ada tindakan apa -apa dari Pimpinan NU, setidaknya NU merasa tidak mempunyai beban terhadap PMII. Bahkan di beberapa daerah, sikap NU agak keras ini juga menjadi persoalan tersendiri bagi PMII. 

Tak heran jika pada masa transisi ini ada sekitar 15 cabang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi independen. Namun hal ini mampu diselesaikan dengan baik pada kepengurusan Kiai Ahmad Bagja. Pengurus Besar PMII sering mengunjungi beberapa cabang secara intensif dan berkala. 

Kunjungan kunjungan ini biasanya dilakukan bertepatan dengan kegiatan cabang atau koordinator cabang seperti pada kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), Pelatihan Pelatihan, Konferensi, Pelantikan Pengurus, Seminar, Lokakarya dan lain - lain.

Selain itu pada masa kepemimpinan Kiai Ahmad Bagja, PB PMII mampu menyusun Buku Pedoman Pendidikan Kader. Hal ini menjadi penting karena PMII tidak hanya merekrut anggota sebanyak banyaknya namun juga harus menciptakan jenjang pengkaderan yang tersusun sistematis. 

Untuk itulah digelar Lokakarya Penyusunan Buku Pedoman pada tanggal 15 - 17 Februari di Jakarta 1979. Disusunnya buku pedoman pendidikan kader, maka teratasi sebagian masalah pengkaderan yakni tidak sinkronnya pedoman pengkaderan yang dimiliki dengan kebutuhan organisasi yang berjalan sesuai dinamika masyarakat. 

Di masa kepemimpinannya juga menggelar Pelatihan Instruktur, sebab bagaimanapun baiknya pedoman organisasi tidak ada artinya bila tanpa dibarengi tenaga pelatih yang menerjemahkannya.

Kebutuhan akan tenaga pelatih teratasi dengan diadakannya pelatihan instruktur pada tanggal 411 Juli 1980 di Jakarta. Latihan ini diikuti oleh 40 Cabang dengan jumlah peserta sebanyak 70 orang. Walaupun jumlah sangat minim, jika dibandingkan dengan jumlah anggota PMII, namun hal ini paling tidak dapat memenuhi sebagian kebutuhan tenaga pelatih dan alumni pelatihan ini diharapkan kelak dapat menularkan keahliannya di daerahnya masing masing. 

Tidak hanya pelatihan formal, pelatihan non formal pun seringkali diselenggarakan antara lain seperti pembinaan dan pengembangan masyarakat untuk Cabang Jember dan Cabang Malang. Sedangkan pelatihan informal banyak Cabang yang membentuk studi studi club, kelompok kelompok kajian atau diskusi di berbagai Cabang saat itu.

Satu lagi keistimewaan periode ini adalah dalam bidang penerbitan. Media penerbitan yang diberi nama bulettin "Generasi" yang mampu terbit hingga nomor 25. Bahkan sempat diteruskan pada periode selanjutnya. Dengan bekal tenaga yang telah terlatih melalui pendidikan pers hasil periode sebelumnya, bulettin ini semakin dipercantik. Berkat bulettin inilah informasi dan segala aktivitas dari cabang cabang di daerah dapat dimonitor oleh warga pergerakan di seluruh Indonesia.

Sukses dalam konsolidasi Internal, kepemimpinan Kiai Bagja juga melakukan berbagai konsolidasi di forum kemahasiswaan. Terlebih pada awal 1970 -an mulai timbul kemarahan dan tidak percaya lagi terhadap kepemimpinan nasional yang ternyata tidak berbeda dengan rezim Orde Lama, bahkan lebih parah.

Konsolidasi di forum kemahasiswaan ditunjukkan dengan berhasilnya PMII mempelopori penolakan NKK/BKK sebagai sistem yang mengatur kehidupan kampus dan mahasiswa waktu itu. Setelah tak menjabat sebagai Ketua PB PMII, Kiai Bagja menjadi Sekjen PBNU Periode 1989 - 1994. Kemudian jelang reformasi Kiai Ahmad Bagja dari PBNU adalah termasuk 9 Tokoh Islam yang diundang Presiden Soeharto pada 19 Mei 1998.

KH. Ahmad Bagja akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 01.09 WIB di RS Jakarta Medical Center (JMC), Kamis 6 Februari 2020. Segala lembaran pergerakan yang ia torehkan sejak awal menjadi kader hingga akhir kepengurusannya telah memberi arah yang baik dan jelas bagi berkembangnya PMII hingga hari ini.
Lebih baru Lebih lama

Space Iklan

magspot blogger template

Iklan

Magspot Blogger Template

نموذج الاتصال