(Ilustrasi) |
Peristiwa ini muncul sebagai reaksi kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka yang memberikan stimulus investasi untuk pemerintah Soeharto.
Mahasiswa bereaksi dengan berdemonstrasi memprotes gejala awal otoritarianisme pada pemerintahan Soeharto. Selain itu, mereka juga meneriakkan berbagai masalah sosial seperti korupsi, harga - harga yang membumbung tinggi serta investasi asing yang berpihak pada sirkulasi kepentingan elit yang pro pada globalisasi.
Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) setelah melakukan kajian atas permasalahan saat itu menghimpun seluruh mahasiswa agar bergerak melakukan demonstrasi dengan mencegat rombongan kenegaraan kedua negara untuk menyampaikan aspirasinya.
Menghadapi hal tersebut Presiden Soeharto yang saat itu menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang harus menaiki helikopter bersama Tanaka.
Atas kekecewaan tersebut, Mahasiswa yang dipimpin oleh Hariman Siregar tersebut sepakat untuk melaksanakan aksi pada 15 Januari 1974 dengan pusat gerakan di Monas.
Ketika aksi tersebut dijalankan ternyata banyak sabotase dari kalangan militer yang mencoba mengambinghitamkan Mahasiswa dengan membuat situasi rusuh keadaan sehingga demonstrasi yang semula berjalan dengan damai pada akhirnya ricuh dan mengakibatkan korban jiwa dan sejumlah kerusakan parah.
Tercatat 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 luka ringan dan 755 orang ditahan. Sementara itu 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 bangunan dan 1 pabrik rusak atau terbakar dan sejumlah 160 kilogram emas hilang dijarah.
Akhirnya Hariman Siregar didakwa dengan tuduhan subversif dan makar dengan vonis enam setengah tahun penjara. Selain Hariman Siregar, banyak aktivis yang ditangkap seperti Pengacara Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, Jurnalis Mochtar Lubis, Judilherry Justam, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo, Eko Jatmiko, Yessy Moninca, dan Remy Leimena. Aini Chalid.
Setelahnya, Pemerintahan Orde Baru semakin represif terhadap gerakan Mahasiswa seperti pemberlakuan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) oleh Daoed Joesoef pada 1978 yang mengakibatkan Organisasi Kemahasiswaan sulit berkembang.