(Foto: Istimewa) |
Sejak kecil, Mbah Dimyati menunjukkan sifat berbeda. Ia pendiam, gemar menyendiri, dan sangat rajin mengaji. Selepas Sekolah Rakyat, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo di bawah asuhan Romo Kiai Abdul Karim.
Di pesantren ini, Mbah Dimyati dikenal sebagai santri yang istiqamah dan penuh dedikasi. Salah satu kisah karomahnya, granat sisa perang Belanda yang meledak di kamarnya tidak melukai beliau sedikit pun.
Baca juga: Sumber Bon C: Wisata Alam Sejuk di Kaki Gunung Kelud
Sepulangnya dari Lirboyo, ia mengabdikan hidupnya dengan mengajar di kampung halaman. Metode pengajarannya unik, menggunakan pendekatan ruhaniyah dan ujian spiritual bagi para santrinya. Keikhlasannya terlihat dari gaya hidupnya yang sederhana dan tanpa pamrih.
Mbah Dimyati wafat pada tahun 1989 dalam usia 68 tahun. Hingga kini, makamnya di Jl. Makam KH Dimyati, Ploso, Selopuro, Blitar, ramai diziarahi. Keharuman nama beliau terus dikenang melalui Majelis Dzikir Kanzul Jannah yang digelar rutin.
Mbah Dimyati adalah bukti nyata kesalehan yang meninggalkan jejak abadi di hati masyarakat Blitar dan sekitarnya.