(Foto: Istimewa) |
Usaha ini dirintis oleh Haris Yudiono menjelang pandemi Covid-19. Bermula dari kegiatan iseng untuk mengisi waktu, ia mulai memproduksi tempe sagu dan tempe menjes.
Tempe menjes terbuat dari ampas tahu, sementara tempe sagu merupakan kombinasi kedelai dan tepung sagu. Kedua jenis tempe ini diolah menjadi keripik renyah dengan tambahan bumbu khas yang menggugah selera.
Saat ini, Keripik Tempe Parimas mampu memproduksi hingga 140 kilogram per hari, melibatkan 16 karyawan dari lingkungan sekitar sebagai penggoreng.
Namun, usaha ini tidak lepas dari kendala. Harga bahan baku yang sering naik menjadi tantangan besar, terutama ketika harga jual keripik tempe di pasaran relatif rendah.
Selain itu, pemasaran produk masih terbatas di beberapa wilayah seperti Malang, Blitar, Kediri, dan Surabaya, sehingga potensi ekspansi pasar masih terbuka lebar.
Baca juga: Tujuh Kebiasaan Anak Hebat: Fondasi Generasi Emas Indonesia 2045
Dengan masa ketahanan produk sekitar tiga bulan, Haris berharap dapat menjalin kerja sama lebih luas dengan warga sekitar untuk memperluas distribusi, sekaligus membantu mengurangi pengangguran di komunitasnya.
Ia juga berharap harga bahan baku dapat lebih stabil, sehingga harga keripik tetap terjangkau bagi masyarakat.
Keripik Tempe Parimas menjadi bukti bahwa usaha kecil yang berangkat dari kreativitas dapat memberikan dampak besar, baik dalam menciptakan peluang kerja maupun memperkenalkan cita rasa lokal Blitar ke masyarakat yang lebih luas.