(Foto: Istimewa) |
Berada di lereng barat daya Gunung Kelud, desa ini menjadi salah satu kawasan yang berkembang pesat berkat keberadaan warisan budaya dari era Kerajaan Majapahit. Candi Penataran, atau dikenal pula sebagai Candi Palah, menjadi simbol penting yang turut memberi nama pada desa ini.
Menurut cerita rakyat, Candi Penataran dahulu berfungsi sebagai tempat pelatihan para punggawa kerajaan. Hal ini menjadi asal-usul nama “Penataran,” yang mengacu pada proses “menatar” atau melatih. Seiring berjalannya waktu, desa ini tumbuh menjadi salah satu pusat sejarah dan kebudayaan di Blitar.
Dalam perjalanan pemerintahannya, Desa Penataran telah melalui berbagai era dengan dinamika yang khas. Pada masa Orde Lama, pemerintahan desa masih sederhana, baik dari segi program maupun sumber daya manusia. Pamong Desa, sebutan bagi perangkat desa saat itu, rata-rata memiliki pendidikan Sekolah Rakyat (SR).
Kepala desa pertama yang tercatat adalah Kasan Ngusman (1899-1915), diikuti oleh Muksim (1916-1917), Karto Widjoyo (1918-1920), dan Irontono (1921-1943). Selanjutnya, Pawiro Sentono memimpin selama lebih dari tiga dekade (1944-1977).
Baca juga: Sejarah Desa Ngadipuro: Permata di Selatan Blitar
Pada era Orde Baru, Desa Penataran dipimpin oleh Mislan (1978-1991), Sony Sudarminto (1992-1998), dan Lauji, S.E. (1999-2013). Kini, di bawah kepemimpinan Kateno, S.E., yang menjabat sejak 2014 hingga 2025, Desa Penataran terus berkembang sebagai desa yang kaya akan potensi wisata sejarah dan budaya.
Keunikan sejarah Desa Penataran menjadikannya salah satu destinasi menarik di Blitar, khususnya bagi para pecinta sejarah dan budaya. Dengan warisan Candi Penataran, desa ini terus melestarikan identitasnya sebagai saksi peradaban masa lalu.