Terpejam Untuk Melihat (2024) : Pekik Suara Yang Terpinggirkan (Film Dokumenter Meditasi Politik dan Lingkungan)

 

Cover film: Terpejam Untuk Melihat (2024)
Cover film: Terpejam Untuk Melihat (2024)
Setelah sukses dengan 2 film dokumenter panjang sebelumnya, Diam Dan Dengarkan (2020), dan Atas Nama Daun (2022). Mahatma Putra kembali menyutradarai film dokumenter panjang yang berjudul Terpejam Untuk Melihat (2024) yang mengusung tema besar politik di Indonesia.

Film yang dirilis pada 7 Februari 2024 ini tayang secara gratis di youtube channel Anatman Pictures. Terpejam Untuk Melihat, meski berbeda dengan 2 film terdahulu, namun memiliki kesimpulan yang sama yakni kesadaran lingkungan.

Dalam tulisan panjang ini, saya akan mencoba menyampaikan poin-poin yang terkandung dalam film secara menyeluruh dengan bahasa yang santai dan sederhana. Kita akan menyelami film bersama, memandang dunia dengan kacamata pemeran dalam film yang notabennya adalah kaum yang terpinggirkan.

Identitas Film:

Judul: Terpejam untuk Melihat

Sutradara: Mahatma Putra

Ruang Produksi: Anatman Picture

Produser: Muttaqiena Imaamaa

Durasi: 1 jam 17 menit 28 detik

Media Publikasi: Youtube/Anatman Pictures

 

Bagian Pertama: Terhubung (Bekerjasama Dengan Alam)

Pesantren Ekologi Ath-Thaariq

“Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin (Rahmat untuk alam), bukan hanya Hablum Minalloh (kepada Tuhan), dan Hablum Minanas (Manusia), tapi juga Hablum Minal Alam (Alam). Itu semua berkesalingan, semesta. Dan semesta bukan hanya manusia,” -Nissa Wargadipura (Pengasuh Pesantren Ath-Thaariq).

Dengan diiringi alunan musik yang sendu, kita masuk pada bagian pertama film ini. Pada bagian ini kita disuguhkan pada hal-hal yang keluar dari pakem yang umum terjadi di masyarakat sekitar kita. Kita benar-benar diajak melambat ditengah zaman yang serba instan dan “ugal-ugalan” ini. Kita dikenalkan dengan gaya Pendidikan Alternatif yang berbeda dengan sistim Pendidikan di negara ini.

Pesantren Ath-Thaariq adalah salah satu pesantren yang mengadopsi pengetahuan Ekologis. Dimana santri-santrinya tidak hanya diajarkan untuk mengaji namun juga bercocok tanam, beternak, memasak menggunakan tungku, dan lain sebagainya. Pesantren ini memiliki visi yang kuat bahwa tidak hanya Hablum Minalloh, Hablum Minanas, tapi juga Hablum Minal Alam.

Nissa berpendapat, Pendidikan budaya agraris sudah ada sejak zaman dulu, namun tergerus habis oleh budaya industri. Ia berharap, ketika santrinya kelak sudah lulus dari pesantren dan kembali ke tempat asalnya, mampu untuk mendirikan kelompok-kelompok kecil yang sadar akan Perubahan Iklim yang kian ekstrim.

“Di Pesantren Ath-Thaariq kita belajar semua yang dihilangkan oleh budaya industri. Harus ada perbandingan, bagaimana nikmatnya budaya agraris, bagaimana nikmatnya budaya industri,” tutur Nissa.

Omah Lor, Jogjakarta.

Selaras dengan Pesantren Ath-Thaariq, kita juga dikenalkan dengan Omah Lor. Sebuah rumah persemian bibit yang berada di Yogyakarta. Kota yang belakangan mulai ramai seperti ibukota.

“Kita adalah miniatur alam semesta. Semakin saya memikirkannya, lalu mengamati semua pola yang ada di alam, melihat pola dalam diri saya, banyak sekali persamaannya, menyakiti alam sama artinya dengan menyakiti diri kita,” -Dwi Pertiwi (pemilik Omah Lor).

Dwi Pertiwi menjelaskan bahwa pada mulanya manusia itu bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jika tersisa baru dijual. Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Menanam untuk dijual, kemudian dapat uang untuk membeli makanan.

Bagi Omah Lor, jika setiap orang melakukan apa yang mereka mampu, dengan porsinya masing-masing, dalam jumlah kecil di setiap tempat, hal itu juga akan menjadi solusi global. Ada pepatah minang, ‘guru terbaik adalah alam semesta’ yang sekarang kita kenal dengan Slow Living. Alam mengajak kita untuk melambat, karena apapun yang kita perbuat akan berdampak padanya dan pada kita.

 

Bagian Kedua: Terpilih (Akses Informasi dan Masa Apolitis)

Jurnalis Dan Politik Media

“Akses orang terhadap informasi itu tidak sama, sedangkan pilihan-pilihan mereka itu ditentukan oleh akses apa yang mereka punya,” -Joan Rumengan (Jurnalis).

Joan mengatakan bahwa akses informasi itu sebuah Previlege. Misalnya ia yang tinggal di Jakarta, ia bisa tau ada media yang Namanya Tempo, Kompas, Project Multatuli. Sebuah keistimewaan sekali bisa mengakses informasi apasaja yang kita mau. “Lantas bagaimana mereka yang akses internet saja sulit?”

Bagaimana kita membayangkan Kota Jakarta yang dengan carut marutnya tidak pernah dikabarkan. Fakta akan Jakarta sebagai ibukota yang tenggelam akan polusi saja sudah menakutkan, apalagi jika tidak dikabarkan, pasti lebih menakutkan.

Sedangkan pada saat ini, media memiliki permasalahannya sendiri. Menurut Direktur Eksekutif Project Multatuli Evi Mariani, media Indonesia terjebak pada lingkaran kapitalistik, antara mengikuti trend pasar atau dikendalikan Oligarki dengan kepentingannya.

Project Multatuli sebagai media alternatif yang mengabarkan isu-isu terpinggirkan berkomitmen dalam membangun sejarah, tidak hanya mengikuti arus sejarah. Hal tersebut dibuktikan dengan pengabaran masalah perempuan-perempuan di pelosok, konflik-konflik warga dengan perusahaan, dan praktik kolonalisme di masa modern.

Menurutnya, Orde Baru membersihkan pikiran-pikiran kita. Kita dirancang untuk tidak lagi membicarakan politik. Inilah era apolitis. Kita lupa bagaimana cara menjadi rakyat yang benar, yang seharusnya mengawasi kekuasaan. Sekarang kita hanya sebagai penggemar.

“Kita banyak yang terpukau oleh luarnya saja. Padahal hal itu sangat bisa di engginer oleh mesin. Political Influenser, Buzzer, Social Media Strategist. Itukan mesin,” kata Evi Mariani.

Idealnya, pada tataran masyarakat demokrasi, kita kembali mengemban tugas-tugas masyarakat sipil terhadap kekuasaan, termasuk orang yang kita pilih. Bukan menjadikannya berhala yang terus-menerus dibela apapun yang mereka lakukan. Itu terjadi sangat kental sepuluh tahun terakhir.

“Cinta itu perwudannya apa sih? Hal pertama yang harus kita lakukan karena cinta adalah marah. Sekarang, kemana perginya marah itu?” tutup Evi.

Suara Kecil Di Balik Kerumunan

“Berikan kami hak yang sama sebagai warga negara karena kami juga menunaikan kewajiban. Apalagi menjelang pemilu seperti ini, LGBT, khususnya transpuan, akan diangkat dan digoreng-goreng sampai gosong,” -Mama Atha (Penggerak transpuan di Kampung Duri).

Mama Atha menyampaikan keresahannya mengenai politik. Dimana hak-hak kaum transpuan selalu dipinggirkan juga disingkirkan ke jalan yang sempit dan gelap. Mama Atha dan teman-temannya menginginkan kesetaraan hak. Terutama dalam hal pekerjaan di sektor formal. Ia meyakini bahwa para transpuan memiliki kecerdasannya sendiri.

Kampung Duri memang sudah dikenal sebagai Kawasan terkumuh se-Asia. Hal tersebut dikuatkan dengan fakta bahwa dari tahun 70-an hingga hari ini, area kampung duri menjadi tempat untuk berlindung oleh para transpuan atau “waria”.

Mama Atha adalah penggerak transpuan di Kampung Duri. Ia bersama kawan-kawannya mendirikan sebuah sanggar kreatif yang diberi nama “Sanggar Seroja”. Tempat dimana para transpuan meningkatkan kreatifitasnya melalui mengumpulkan barang bekas tak terpakai untuk didaur ulang menjadi kerajinan yang menarik.

 

Bagian Ketiga: Terjamin (Hak Yang Di Pinggirkan)

Masuk Ke Dalam Sistem

“Selama ini masih ada yang menganggap bahwa aksesibilitas untuk kaum difabel itu sebuah keistimewaan, padahal itu adalah sebuah hak yang harus dipenuhi,” -Anggiasari.

Sama halnya dengan Mama Atha dan transpuan lainnya, pemenuhan hak sebagai warga negara juga tidak didapatkan secara adil oleh Anggitasari. Anggitasari adalah seorang penyandang disalibilitas dwarfisme yang pernah terjebak lift karena lupa cek tombol yang tinggi, lalu ia terjebak sampai seseorang datang.

Anggiasari mencoba masuk ke dalam sistem karena ingin mengawal kebijakan untuk kaum difabel. Ia bekerja sebagai Staf Ahli Wakil Ketua MPR RI. Ia juga mengatakan bahwa politik masih memiliki harapan, masih ada orang baik di politik. “Meski seperti mencari jarum di tumpukan jerami,” kata Anggitasari.

Sebelumnya, Anggiasari pernah menjadi Calon Legislatif (Caleg) dari salah satu Partai Politik mapan untuk daerah pemilihan Jogja pada pemilu 2019. Namun, ia gagal memperoleh suara yang cukup untuk menjadi Wakil Rakyat.

Sistem Yang Penuh Dengan Karat

“Orang masuk politik itu harus punya hubungan dan punya duit. Kalua perlu 4 atau 6 Miliar untuk menjadi Wakil Rakyat,” -Frans Magnis Suseno (Guru Besar Filsafat)

Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa biaya politik di Indonesia mahal, data penelitian dari Prajna Research Indonesia menyebutkan, rata-rata Calon Legislatif (Caleg) mengeluarkan dana untuk kampanye dan lain sebagainnya berada dalam kisaran 1-2 miliar untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, 500 jt-1 miliar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan 250 jt-500jt DPRD Kabupaten/Kota.

Guru Besar Sekolah Tinggi Filfasat (STF) Driyakarya, Frans Magnis Suseno mengungkapkan kekhawatirannya karena tantangan politik hari ini bukan hanya dari Wakil Rakyat, namun juga Oligarki. Karena oligarki bukanlah instrumen perwakilan dari rakyat, tapi perwakilan dari orang-orang kaya, pebisnis, dan orang berduit.

Ketimpangan sosial adalah tantangan penting yang kini tak kunjung selesai, bahkan terkesan kurang tersentuh dengan serius. Sebab, lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan.

“Kalau mereka mendapat kesan bahwa Indonesia milik yang di atas, gawat! Mereka akan bilang, Untuk apa Pancasila? Lebih baik cari ideologi lain! Pancasila berarti mereka yang sudah kaya akan semakin kaya!” Frans Magnis Suseno.

 

Bagian Keempat: Terpilih

Keluar Dari Sistem

Selanjutnya, kita dikenalkan dengan Maharlika. Seseorang yang memilih keluar dari pekerjaannya dan hidup tanpa uang. Ya, Maharlika benar-benar memilih keluar dari system (Keluar dari system yang dimaksud adalah keluar dari keadaan, atau kondisi normal warga negara, seperti bekerja dan lain sebagainya).

Pria yang dulunya bernama Sal tersebut pada awalnya adalah pekerja kantoran ibukota. Sebelum pada akhirnya ia memutuskan untuk pulang memenuhi panggilan hati untuk merawat kedua orang tuanya sekaligus memulai hidup baru dengan keluar dari sistem, dan memakai nama baru yakni Maharlika yang berarti merdeka.

Maharlika benar-benar menggantungkan hidupnya pada alam. Selain untuk merawat orang tuanya, waktu yang Maharlika miliki ia gunakan untuk merawat kebun dan alam di sekitar rumahnya yang juga sebagai sumber makanan miliknya.

Kehidupan Maharlika memaksa kita untuk berfikir kembali mengenai konsep bertahan hidup, yang pada awalnya kita kira bekerja adalah satu-satunya cara, ia membuktikan bahwa itu bukan satu-satunya, melainkan salah satunya. Maharlika mengubah konsep hidupnya menjadi berjalan kebelakang atau “mundur”. Menurutnya, nilainya bertambah dengan cara tersebut, meskipun banyak orang yang menganggapnya malah menurun.

Mengenai keputusan politik, ia memiliki keputusan yang mantap untuk mengkawal dan mengkritisi semua calon yang ada. Seperti Maharlika yang mengkritik segala sistem yang berjalan (mapan) dengan hidup melawan arus.

“Terkadang orang miskin dianggap belum merdeka. Meskipun saya miskin, saya merasa merdeka yang lebih merdeka. Merdeka dalam arti sebenar-benarnya,” -Maharlika.

 

Bagian Kelima: Tersadar

Membangun Kesadaran Kolektif

Menurutku sebenarnya pencerahan itu, bukan sesuatu yang tiba-tiba kita dapat sesuatu yang baru. Kalau saya percaya bahwa kesadaran-kesadaran ini itu memang sudah ada, melekat dalam jiwa kita sebagai manusia,” -Gede Robi (Vokalis Navicula).

Gerakan kesadaran yang kecil dalam pikiran Gede Robi, akan berdampak besar pula apabila dilakukan bersama-sama (kolektif). Kita diajarkan untuk tidak meremehkan hal kecil, seperti sedotan plastik misalnya, Negara kita mengkonsumsi sampah plastik sebanyak 500 juta pengguanaan setiap harinya.

Permasalahan sampah dan krisis iklim di Indonesia memang sudah melampaui batas wajar, tak selamanya membayangkan gerakan peduli sampah dan lingkungan dengan skala besar saja. Kita harus mendekati hal tersebut, untuk kemudian mengubah dari hal-hal kecil yang bisa kita upayakan, kemudian meningkat pada lingkungan kita, dan seterusnya.

Selaras dengan hal itu, kita dikenalkan juga dengan Andre Danajaya dan teman-temannya di Kopernik. Mereka berupaya menghubungkan teknologi tepat guna sederhana, seperti lampu tenaga surya, kompor ramah lingkungan, dan saringan air tanpa listrik dengan masyarakat di daerah terpencil. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi kemiskinan.

Begitu juga dengan Mahawira Dillon, ia membuat papan permainan dengan nama “Emisi” Ogah Games. Permainan ini mengasumsikan bahwa karbon kredit ada harganya, bahwa dunia akan benar-benar tamat apabila emisinya sudah terlalu banyak. Mereka akan juga paham bahwa perubahan iklim adalah sebuah masalah, namun mengapa negara tidak ikutan? Karena mereka memiliki kepentingannya masing-masing.

Selanjutnya giliran Laut Tentrem, sebuah perusahaan sabun rumahan yang ramah lingkungan. Mahatma Putri, selaku pemilik perusahaan, mengupayakan untuk mengurangi polusi pada air laut. Terutama polusi yang disebabkan busa deterjen dan sampah plastik sekali pakai. Departemen Biologi FMIPA UI dalam presentasinya menjelaskan lebih dari 8 juta ton sampah plastik dibuang ke laut tiap tahunnya, sekitar 80% berasal dari aktivitas yang dilakukan di darat yakni Industri, saluran pembuangan, limbah yang tidak diproses dan pariwisata.

Terakhir, keputusan Nyoman Arianto untuk keluar dari pekerjaannya untuk mendirikan Bank Sampah Bali Bersih, dan masih banyak lagi orang-orang dengan kesadaran serupa yang tetap mengupayakan hal terbaik yang mereka bisa demi keberlangsungan lingkungan hidup.

 

Epilog: Tersambung

Sebuah Refleksi

Pada bagian terakhir film ini, kita diajak untuk merefleksi sejenak kehidupan semacam apa yang kita jalani dan kita inginkan di masa depan. Kita diajak untuk sejenak menghela nafas, kemudian memejamkan mata untuk diam dan mendengarkan ringkasan seluruh bagian dalam film ini. Untuk kemudian menjadikannya refleksi dan pijakan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Kita kembali di ingatkan bahwa sekecil apapun tindakan kita terhadap alam, pasti memiliki dampak di kemudian hari. Untuk itu, mari kita melakukan hal terbaik yang kita bisa untuk menyelamatkan alam dengan apa yang kita bisa. “Semoga semua makhluk dapat berbahagia”.

“Kita bisa bergerak Bersama, secara kolektif. Lewat cara masing-masing. Sekarang juga!” tutup film tersebut.

Lebih baru Lebih lama

Space Iklan

magspot blogger template

Iklan: 0878-5411-6203

Magspot Blogger Template
Magspot Blogger Template

نموذج الاتصال