Cover film: Terpejam Untuk Melihat (2024) |
Identitas Film:
Judul: Terpejam untuk Melihat
Sutradara: Mahatma Putra
Ruang Produksi: Anatman Picture
Produser: Muttaqiena Imaamaa
Durasi: 1 jam 17 menit 28 detik
Media Publikasi: Youtube/Anatman Pictures
Bagian Pertama:
Terhubung (Bekerjasama Dengan Alam)
Pesantren Ekologi
Ath-Thaariq
“Islam sebagai
Rahmatan Lil Alamin (Rahmat untuk alam), bukan hanya Hablum Minalloh (kepada
Tuhan), dan Hablum Minanas (Manusia), tapi juga Hablum Minal Alam (Alam). Itu
semua berkesalingan, semesta. Dan semesta bukan hanya manusia,” -Nissa Wargadipura (Pengasuh
Pesantren Ath-Thaariq).
Dengan diiringi
alunan musik yang sendu, kita masuk pada bagian pertama film ini. Pada bagian
ini kita disuguhkan pada hal-hal yang keluar dari pakem yang umum terjadi di
masyarakat sekitar kita. Kita benar-benar diajak melambat ditengah zaman yang
serba instan dan “ugal-ugalan” ini. Kita dikenalkan dengan gaya Pendidikan
Alternatif yang berbeda dengan sistim Pendidikan di negara ini.
Pesantren
Ath-Thaariq adalah salah satu pesantren yang mengadopsi pengetahuan Ekologis. Dimana
santri-santrinya tidak hanya diajarkan untuk mengaji namun juga bercocok tanam,
beternak, memasak menggunakan tungku, dan lain sebagainya. Pesantren ini
memiliki visi yang kuat bahwa tidak hanya Hablum Minalloh, Hablum
Minanas, tapi juga Hablum Minal Alam.
Nissa berpendapat,
Pendidikan budaya agraris sudah ada sejak zaman dulu, namun tergerus habis oleh
budaya industri. Ia berharap, ketika santrinya kelak sudah lulus dari pesantren
dan kembali ke tempat asalnya, mampu untuk mendirikan kelompok-kelompok kecil
yang sadar akan Perubahan Iklim yang kian ekstrim.
“Di Pesantren
Ath-Thaariq kita belajar semua yang dihilangkan oleh budaya industri. Harus ada
perbandingan, bagaimana nikmatnya budaya agraris, bagaimana nikmatnya budaya
industri,”
tutur Nissa.
Omah Lor,
Jogjakarta.
Selaras dengan
Pesantren Ath-Thaariq, kita juga dikenalkan dengan Omah Lor. Sebuah rumah
persemian bibit yang berada di Yogyakarta. Kota yang belakangan mulai ramai
seperti ibukota.
“Kita
adalah miniatur alam semesta. Semakin saya memikirkannya, lalu mengamati semua
pola yang ada di alam, melihat pola dalam diri saya, banyak sekali persamaannya,
menyakiti alam sama artinya dengan menyakiti diri kita,” -Dwi Pertiwi (pemilik
Omah Lor).
Dwi Pertiwi menjelaskan bahwa pada mulanya manusia itu bertani
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jika tersisa baru dijual. Namun yang
terjadi sekarang justru sebaliknya. Menanam untuk dijual, kemudian dapat uang
untuk membeli makanan.
Bagi Omah Lor, jika setiap orang
melakukan apa yang mereka mampu, dengan porsinya masing-masing, dalam jumlah
kecil di setiap tempat, hal itu juga akan menjadi solusi global. Ada pepatah minang, ‘guru terbaik adalah alam
semesta’ yang sekarang kita kenal dengan Slow Living. Alam mengajak
kita untuk melambat, karena apapun yang kita perbuat akan berdampak padanya dan
pada kita.
Bagian Kedua: Terpilih (Akses Informasi dan Masa
Apolitis)
Jurnalis Dan Politik Media
“Akses orang terhadap informasi itu tidak sama, sedangkan
pilihan-pilihan mereka itu ditentukan oleh akses apa yang mereka punya,” -Joan Rumengan
(Jurnalis).
Joan mengatakan bahwa akses informasi itu sebuah Previlege.
Misalnya ia yang tinggal di Jakarta, ia bisa tau ada media yang Namanya
Tempo, Kompas, Project Multatuli. Sebuah keistimewaan sekali bisa mengakses
informasi apasaja yang kita mau. “Lantas bagaimana mereka yang akses
internet saja sulit?”
Bagaimana kita membayangkan Kota Jakarta yang dengan
carut marutnya tidak pernah dikabarkan. Fakta akan Jakarta sebagai ibukota yang
tenggelam akan polusi saja sudah menakutkan, apalagi jika tidak dikabarkan,
pasti lebih menakutkan.
Sedangkan pada saat ini, media memiliki permasalahannya
sendiri. Menurut Direktur Eksekutif Project Multatuli Evi Mariani, media
Indonesia terjebak pada lingkaran kapitalistik, antara mengikuti trend pasar
atau dikendalikan Oligarki dengan kepentingannya.
Project Multatuli sebagai media alternatif yang
mengabarkan isu-isu terpinggirkan berkomitmen dalam membangun sejarah, tidak
hanya mengikuti arus sejarah. Hal tersebut dibuktikan dengan pengabaran masalah
perempuan-perempuan di pelosok, konflik-konflik warga dengan perusahaan, dan
praktik kolonalisme di masa modern.
Menurutnya, Orde Baru membersihkan pikiran-pikiran kita.
Kita dirancang untuk tidak lagi membicarakan politik. Inilah era apolitis.
Kita lupa bagaimana cara menjadi rakyat yang benar, yang seharusnya
mengawasi kekuasaan. Sekarang kita hanya sebagai penggemar.
“Kita banyak yang terpukau oleh luarnya saja. Padahal hal
itu sangat bisa di engginer oleh mesin. Political Influenser, Buzzer, Social
Media Strategist. Itukan mesin,” kata Evi
Mariani.
Idealnya, pada tataran masyarakat
demokrasi, kita kembali mengemban tugas-tugas masyarakat sipil terhadap
kekuasaan, termasuk orang yang kita pilih. Bukan menjadikannya berhala yang
terus-menerus dibela apapun yang mereka lakukan. Itu terjadi sangat kental
sepuluh tahun terakhir.
“Cinta itu perwudannya apa sih? Hal
pertama yang harus kita lakukan karena cinta adalah marah. Sekarang, kemana
perginya marah itu?” tutup Evi.
Suara Kecil Di Balik Kerumunan
“Berikan
kami hak yang sama sebagai warga negara karena kami juga menunaikan kewajiban.
Apalagi menjelang pemilu seperti ini, LGBT, khususnya transpuan, akan diangkat
dan digoreng-goreng sampai gosong,” -Mama Atha
(Penggerak transpuan di Kampung Duri).
Mama Atha menyampaikan keresahannya mengenai politik. Dimana
hak-hak kaum transpuan selalu dipinggirkan juga disingkirkan ke jalan yang
sempit dan gelap. Mama Atha dan teman-temannya menginginkan kesetaraan hak.
Terutama dalam hal pekerjaan di sektor formal. Ia meyakini bahwa para transpuan
memiliki kecerdasannya sendiri.
Kampung Duri memang sudah dikenal
sebagai Kawasan terkumuh se-Asia. Hal tersebut dikuatkan dengan fakta bahwa
dari tahun 70-an hingga hari ini, area kampung duri menjadi tempat untuk
berlindung oleh para transpuan atau “waria”.
Mama Atha adalah penggerak transpuan di
Kampung Duri. Ia bersama kawan-kawannya mendirikan sebuah sanggar kreatif yang
diberi nama “Sanggar Seroja”. Tempat dimana para transpuan meningkatkan kreatifitasnya
melalui mengumpulkan barang bekas tak terpakai untuk didaur ulang menjadi
kerajinan yang menarik.
Bagian Ketiga: Terjamin (Hak Yang Di
Pinggirkan)
Masuk Ke Dalam Sistem
“Selama ini masih ada yang menganggap
bahwa aksesibilitas untuk kaum difabel itu sebuah keistimewaan, padahal itu
adalah sebuah hak yang harus dipenuhi,” -Anggiasari.
Sama halnya dengan Mama Atha dan
transpuan lainnya, pemenuhan hak sebagai warga negara juga tidak didapatkan
secara adil oleh Anggitasari. Anggitasari
adalah seorang penyandang disalibilitas dwarfisme yang
pernah terjebak lift karena lupa cek tombol yang tinggi,
lalu ia terjebak sampai seseorang datang.
Anggiasari mencoba masuk ke dalam
sistem karena ingin mengawal kebijakan untuk kaum difabel. Ia bekerja sebagai
Staf Ahli Wakil Ketua MPR RI. Ia juga mengatakan bahwa politik masih memiliki
harapan, masih ada orang baik di politik. “Meski seperti mencari jarum di
tumpukan jerami,” kata Anggitasari.
Sebelumnya, Anggiasari pernah
menjadi Calon Legislatif (Caleg) dari salah satu Partai Politik mapan untuk
daerah pemilihan Jogja pada pemilu 2019. Namun, ia gagal memperoleh suara yang
cukup untuk menjadi Wakil Rakyat.
Sistem Yang Penuh Dengan Karat
“Orang masuk politik itu harus punya
hubungan dan punya duit. Kalua perlu 4 atau 6 Miliar untuk menjadi Wakil
Rakyat,” -Frans Magnis Suseno (Guru Besar Filsafat)
Sudah bukan menjadi rahasia lagi
bahwa biaya politik di Indonesia mahal, data penelitian dari Prajna Research
Indonesia menyebutkan, rata-rata Calon Legislatif (Caleg)
mengeluarkan dana untuk kampanye dan lain sebagainnya berada dalam kisaran 1-2
miliar untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, 500 jt-1 miliar Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan 250 jt-500jt DPRD Kabupaten/Kota.
Guru Besar Sekolah Tinggi Filfasat
(STF) Driyakarya, Frans Magnis Suseno mengungkapkan kekhawatirannya karena
tantangan politik hari ini bukan hanya dari Wakil Rakyat, namun juga Oligarki.
Karena oligarki bukanlah instrumen perwakilan dari rakyat, tapi perwakilan dari
orang-orang kaya, pebisnis, dan orang berduit.
Ketimpangan sosial adalah tantangan
penting yang kini tak kunjung selesai, bahkan terkesan kurang tersentuh dengan
serius. Sebab, lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia masih berada di bawah
garis kemiskinan.
“Kalau mereka mendapat kesan bahwa
Indonesia milik yang di atas, gawat! Mereka akan bilang, Untuk apa Pancasila?
Lebih baik cari ideologi lain! Pancasila berarti mereka yang sudah kaya akan
semakin kaya!” Frans Magnis Suseno.
Bagian Keempat: Terpilih
Keluar Dari Sistem
Selanjutnya, kita dikenalkan dengan
Maharlika. Seseorang yang memilih keluar dari pekerjaannya dan hidup tanpa
uang. Ya, Maharlika benar-benar memilih keluar dari system (Keluar dari system
yang dimaksud adalah keluar dari keadaan, atau kondisi normal warga negara,
seperti bekerja dan lain sebagainya).
Pria yang dulunya bernama Sal
tersebut pada awalnya adalah pekerja kantoran ibukota. Sebelum pada akhirnya ia
memutuskan untuk pulang memenuhi panggilan hati untuk merawat kedua orang
tuanya sekaligus memulai hidup baru dengan keluar dari sistem, dan memakai nama
baru yakni Maharlika yang berarti merdeka.
Maharlika benar-benar menggantungkan
hidupnya pada alam. Selain untuk merawat orang tuanya, waktu yang Maharlika
miliki ia gunakan untuk merawat kebun dan alam di sekitar rumahnya yang juga
sebagai sumber makanan miliknya.
Kehidupan Maharlika memaksa kita
untuk berfikir kembali mengenai konsep bertahan hidup, yang pada awalnya kita
kira bekerja adalah satu-satunya cara, ia membuktikan bahwa itu bukan
satu-satunya, melainkan salah satunya. Maharlika mengubah konsep hidupnya
menjadi berjalan kebelakang atau “mundur”. Menurutnya, nilainya bertambah
dengan cara tersebut, meskipun banyak orang yang menganggapnya malah menurun.
Mengenai keputusan politik, ia
memiliki keputusan yang mantap untuk mengkawal dan mengkritisi semua calon yang
ada. Seperti Maharlika yang mengkritik segala sistem yang berjalan (mapan)
dengan hidup melawan arus.
“Terkadang orang miskin dianggap belum merdeka. Meskipun
saya miskin, saya merasa merdeka yang lebih merdeka. Merdeka dalam arti
sebenar-benarnya,” -Maharlika.
Bagian Kelima: Tersadar
Membangun Kesadaran Kolektif
“Menurutku sebenarnya pencerahan itu, bukan sesuatu
yang tiba-tiba kita dapat sesuatu yang baru. Kalau saya percaya bahwa
kesadaran-kesadaran ini itu memang sudah ada, melekat dalam jiwa kita sebagai
manusia,” -Gede Robi (Vokalis Navicula).
Gerakan kesadaran yang kecil dalam pikiran Gede Robi,
akan berdampak besar pula apabila dilakukan bersama-sama (kolektif). Kita
diajarkan untuk tidak meremehkan hal kecil, seperti sedotan plastik misalnya,
Negara kita mengkonsumsi sampah plastik sebanyak 500 juta pengguanaan setiap
harinya.
Permasalahan sampah dan krisis iklim di Indonesia memang
sudah melampaui batas wajar, tak selamanya membayangkan gerakan peduli sampah
dan lingkungan dengan skala besar saja. Kita harus mendekati hal tersebut,
untuk kemudian mengubah dari hal-hal kecil yang bisa kita upayakan, kemudian
meningkat pada lingkungan kita, dan seterusnya.
Selaras dengan hal itu, kita dikenalkan juga dengan Andre
Danajaya dan teman-temannya di Kopernik. Mereka berupaya menghubungkan teknologi tepat guna sederhana,
seperti lampu tenaga surya, kompor ramah lingkungan, dan saringan air tanpa
listrik dengan masyarakat di daerah terpencil. Hal tersebut dilakukan untuk
mengurangi kemiskinan.
Begitu juga dengan Mahawira Dillon,
ia membuat papan permainan dengan nama “Emisi” Ogah Games. Permainan ini
mengasumsikan bahwa karbon kredit ada harganya, bahwa dunia akan benar-benar
tamat apabila emisinya sudah terlalu banyak. Mereka akan juga paham bahwa
perubahan iklim adalah sebuah masalah, namun mengapa negara tidak ikutan?
Karena mereka memiliki kepentingannya masing-masing.
Selanjutnya giliran Laut Tentrem,
sebuah perusahaan sabun rumahan yang ramah lingkungan. Mahatma Putri, selaku
pemilik perusahaan, mengupayakan untuk mengurangi polusi pada air laut.
Terutama polusi yang disebabkan busa deterjen dan sampah plastik sekali pakai. Departemen
Biologi FMIPA UI dalam presentasinya menjelaskan lebih dari 8 juta ton sampah plastik dibuang ke laut
tiap tahunnya, sekitar 80% berasal dari aktivitas yang dilakukan di darat yakni
Industri, saluran pembuangan, limbah yang tidak diproses dan pariwisata.
Terakhir, keputusan Nyoman Arianto
untuk keluar dari pekerjaannya untuk mendirikan Bank Sampah Bali Bersih, dan
masih banyak lagi orang-orang dengan kesadaran serupa yang tetap mengupayakan
hal terbaik yang mereka bisa demi keberlangsungan lingkungan hidup.
Epilog: Tersambung
Sebuah Refleksi
Pada bagian terakhir film ini, kita
diajak untuk merefleksi sejenak kehidupan semacam apa yang kita jalani dan kita
inginkan di masa depan. Kita diajak untuk sejenak menghela nafas, kemudian
memejamkan mata untuk diam dan mendengarkan ringkasan seluruh bagian dalam film
ini. Untuk kemudian menjadikannya refleksi dan pijakan untuk menjadi pribadi
yang lebih baik.
Kita kembali di ingatkan bahwa
sekecil apapun tindakan kita terhadap alam, pasti memiliki dampak di kemudian
hari. Untuk itu, mari kita melakukan hal terbaik yang kita bisa untuk
menyelamatkan alam dengan apa yang kita bisa. “Semoga semua makhluk dapat
berbahagia”.
“Kita bisa bergerak Bersama, secara
kolektif. Lewat cara masing-masing. Sekarang juga!” tutup film tersebut.