Ketua Komisariat PMII Madjapahit Unisba Blitar Alex Cahyono (tengah membawa bendera PMII). (Dok. Pribadi) |
Setiap doktrinasi dalam pergerakan menjadi permasalahan utama karena tak sekalipun menjamin tingkat loyalitas kader ataupun konsistensi dalam pergerakan. Hal ini semakin lama seakan hanyalah seperti formalitas belaka yang sekedar disampaikan sama halnya dengan materi yang lain kepada peserta forum kaderisasi tanpa dibarengi oleh pemilihan personalia yang tepat untuk hal ini.
Nalar gerak seorang kader sebetulnya sudah dibangun melalui paradigma arus balik masyarakat pinggiran dimana hal ini pertama kali dikenalkan pada masa kepemimpinan Sahabat Muhaimin Iskandar (Ketum PB PMII 1994 - 1997) sebagai acuan gerakan perlawanan pada masa orde baru pun setelahnya Sahabat Syaiful Bahri Anshori (Ketum PB PMII 1997 - 2000) memperkenalkan paradigma kritis transformatif.
Adanya dua paradigma diatas sebetulnya sudah merupakan penegasan bahwa PMII bergerak pada wacana - wacana kritis dan aktivitas jalanan serta memberikan semangat melawan kapitalisme global.
Tetapi setelah reformasi, gerak PMII semakin bergeser kearah yang cukup majemuk. PMII seolah - olah hanya melahap isu - isu yang sedang naik ke permukaan lalu mengkajinya kemudian dijadikan bahan untuk mengkritisi dengan menggunakan media berbasis analisis ataupun gerakan yang akhirnya dilebur dalam kesatuan massa aksi.
Sekilas dapat dilihat sebagai suatu gerakan moral yang normal dari sebuah kewajiban agung dari didirikannya organisasi ini.
Namun demikian gerakan seperti ini lambat laun akan menemukan titik kejenuhannya sendiri, karena sebagai kaum pergerakan PMII bergerak hanya didasarkan pada isu yang sedang berkembang tanpa adanya sebuah itikad yang lahir dari keresahan atas situasi yang terjadi sesuai kajian jenjang struktural.
Kemasifan organisasi seperti PMII semakin hari mungkin akan cukup berkurang karena telah banyak diimbangi oleh mereka yang bergerak atas nama solidaritas atau aliansi yang bergerak cukup pesat dengan menggunakan media sosial, petisi ataupun organisir - organisir massa non organisasi kemahasiswaan yang didasarkan untuk merespon isu tertentu. Sehingga lambat laun pergerakan ini secara fungsi sosialnya akan berkurang dengan berbagai hal tersebut.
Belum lagi pada ranah kader, banyak dari kita mungkin cukup merasa keadaan mahasiswa yang ikut organisasi kemahasiswaan seperti PMII dan mahasiswa yang tidak ikut organisasi kualitasnya sekarang sudah tak ada lagi perbedaannya bahkan terkadang lebih baik secara relasi dan karier mereka yang tidak ikut PMII. Artinya ada yang salah pada aspek pendidikan kader kita yang terlalu terpaku untuk menerima dan mengikuti segala jenjang pengkaderan tanpa dibarengi dengan semangat kader untuk dapat mengoptimalkan segala fasilitas pengkaderan dengan baik.
Maksudnya, kader yang sudah menyelesaikan jenjang kaderisasi harus mampu mengejawantahkan secara pribadi selain secara kolektif seluruh hal yang diperoleh selama mengikuti jenjang kaderisasi ataupun kegiatan tertentu dalam organisasi. Sehingga kaderisasi atau kegiatan lain dalam organisasi akan mengantarkan pada intelektualisme pada pribadi kader.
Cukup sulit jika seorang kader hanya pasif, dimanjakan segala kenikmatan dalam organisasi tanpa adanya upaya dari seorang kader mengembangkan dirinya agar menjadi kader yang mampu mengoptimalkan seluruh potensinya dalam organisasi, terlebih jika kader terlalu rapuh serta kurang komitmen yang konsisten terhadap kerja - kerja organisasi.
Jangan sampai relevansi organisasi seperti PMII berkurang karena dalam tataran organisasinya kurang progresif serta dalam tataran pribadi kadernya cukup lemah.
Oleh karena itu perlu rasanya kita sejenak merefleksi diri dengan terus mengingat perjalanan sejarah panjang organisasi yang tak lepas dari keteladanan gerakan yang diwariskan oleh para pendahulu pergerakan. Sebuah contoh yang mungkin dapat dilihat seperti Sahabat Mahbub Djunaidi (Ketum PB 1960 - 1967) dijebloskan ke penjara pada pertengahan orde baru seusai tidak lagi menjabat Ketua PB ia ditangkap karena tulisannya mengkritik pemerintahan Soeharto.
Sahabat M. Zamroni (Ketum PB 1967 - 1973) ia rela kehilangan tiga jari kananya untuk memimpin demonstrasi untuk meruntuhkan kekuasaan Orde Lama saat ia menjabat Ketua PB PMII. Sahabat Ahmad Bagja (Ketum PB PMII 1977 - 1981) yang ditangkap oleh orde baru saat menjadi Ketua PB PMII ia ditangkap hampir bersamaan dengan ditangkapnya Sahabat Mahbub Djunaidi.
Atas kenyataan sejarah itulah kader PMII harus merevitalisasi dan meneguhkan dirinya agar mampu menjawab tantangan organisasi kedepan yang tampaknya akan lebih berat dan membutuhkan perjuangan yang konsisten untuk masa depan organisasi yang lebih terarah, kecuali jika mempergunakan organisasi sebagai lompatan atau pragmatis keji haram hukumnya!
Artikel ini ditulis oleh Ketua PMII Komisariat Madjapahit Universitas Islam Balitar (Unisba) Blitar Alex Cahyono
Tags
Opini