Bicara Blitar - Berbicara tentang kaderisasi tentunya tidak terlepas dari proses penambahan jumlah anggota yang direkrut pada sebuah komunitas, lembaga atau organisasi tertentu. Bisa dikatakan kaderisasi merupakan jantung utama organisasi dalam menentukan arah regenerasi kepengurusan.
Kaderisasi tidak hanya diartikan sempit sebagai instrumen perekrutan kuantitas namun juga mengantarkannya menjadi kualitas yang unggul sejalan dengan orientasi gerakan organisasi.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang mempunyai 3 jenis kaderisasi yakni kaderisasi formal, non formal serta informal lengkap beserta jenjang sekaligus format capaiannya. Begitupun konsep dalam kurikulumnya lengkap dengan aspek keilmuan masing-masing mahasiswa yang tergabung didalamnya.
Sesaat, kita pasti menganggap PMII merupakan organisasi yang paling lengkap karena membekali anggota maupun kadernya dengan berbagai muatan teoritis hingga praktis bahkan ditetapkan dalam pembahasan pedoman organisasi (PO). Namun tulisan ini bukan ditujukan untuk membedah ketiga jenis kaderisasi tersebut, tapi tetapi lebih kepada orientasi segala sendi kaderisasi di PMII.
Doktrinasi
Tulisan ini menjadi sebuah bentuk refleksi yang paradoksal ketika kaderisasi diartikan sebagai cara untuk memasukkan secara massal seluruh mahasiswa agar ikut perekrutan. Kemudian para mahasiswa dicekoki dengan realisasi mimpi-mimpi indah organisasi berupa pengolahan potensi sampai dengan relasi tanpa memperhitungkan situasi kemahasiswaan baik dari gambaran makro maupun mikro masing-masing mahasiswa.
Tanpa dibekali pemetaan yang komprehensif dari kepengurusan akan berdampak kepada paradigma anggota maupun kader dalam merawat sebuah organisasi.
Misalnya apakah bisa dikatakan benar, ketika itikad seseorang yang memilih organisasi hanya berdasarkan nafsunya agar secara langsung mendukung perkuliahan dan menjamin kehidupan masa depan? Atau yang lebih parah masuk organisasi hanya untuk mendapatkan keuntungan dan manfaat pribadi secara sesaat?
Kemudian ternyata PMII tidak memberikan itu semua mereka akhirnya pergi dari organisasi? Pragmatis betul pola pikir seperti ini!. Lalu apakah jika seseorang tersebut tetap merawat organisasi tapi melakukan seperti kedua hal diatas juga dapat ditolerir? Naif betul mereka yang mentolerirnya dan orang yang melakukannya!.
Citra Organisasi
Sementara itu, di sisi yang lain kita menemui citra organisasi yang hedonis dengan hanya bertumpu pada aspek seremonial semata dengan framing tema-tema besar organisasi namun itu hanya dalih agar kader termanjakan dengan kegiatan tersebut. Pastinya orang yang menghendaki kebenaran dari langkah seperti hal tersebut akan berdalih bahwa semua itu adalah cara mereka mempertahankan anggota ataupun kader.
Setelah itu pembenaran muncul menganggap cara tersebut adalah hal yang kaku tidaklah baik jika dipaksakan, bahkan menganggap hal tersebut tidak inovatif dan relevan dalam situasi hari-hari ini. Justru karena mereka menganggap hal tersebut kurang relevan maka secara tidak langsung mendegradasi gagasan PMII dan korelasinya dengan persinggungan sosial, sehingga gagasan-gagasan kemahasiswaan jarang didengungkan sebagai orientasi dari gerakan PMII!.
Baca Juga: Menabur Kebermanfaatan PMII Terhadap Umat
Memang dalam Buku Pendidikan Kritis Transformatif yang diluncurkan PB (Pengurus Besar) PMII pada Tahun 2002, menjelaskan bahwa alat PMII untuk mengenali situasi mahasiswa adalah dengan cara menyelami pemikiran setiap individu yang coba kita tarik maupun yang sudah tergabung organisasi. Ada kalanya, bukan mahasiswa yang mengikuti jalan pikiran PMII namun PMII - lah yang pertama - tama mesti mengikuti jalan pikiran mahasiswa. Strategi ini dinamakan "masuk dari pintu mereka, keluar dari pintu kita".
Tapi bukan berarti kepengurusan pasif dalam proses kaderisasi, artinya hanya menunggu ide-ide dari anggota maupun kader dalam membuat sebuah wadah berproses. Tentunya disini harus seimbang antara sisi ideologis organisasi dengan pengolahan potensi sehingga orientasi dari proses-proses pengkaderan dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai dalam organisasi.
Tanggung Jawab Pengurus
Setiap kepengurusan harus cermat dan jeli dalam merancang siklus kaderisasi secara berkala dengan capaian yang sama-sama tercapai antara pengolahan potensi dan pemahaman ideologis kader sebagai jalan mereka untuk mencapai orientasi dari proses panjang kaderisasi.
Oleh karena itu, saya rasa PMII Blitar Raya harus mempunyai pedoman organisasi yang berbasis pada keadaan internal wilayah dan pengembangan kemampuan kader yang ditunjang melalui proses-proses kaderisasi di berbagai struktural di Blitar Raya sesuai dengan pedoman organisasi.
Tentunya tak bisa dibedakan tingkat masifnya gerakan antara struktural satu dengan lainnya karena kondisi masing-masing struktural yang bersinggungan dengan keadaan kampus masing-masing sebagai arena pertarungan pengkaderan.
Namun sekali lagi, apapun kondisinya aspek-aspek fundamental organisasi harus mampu menggiring anggota maupun kader dalam mencapai tujuan organisasi harus senantiasa digalakkan terutama yang berkaitan dengan pendidikan kader melalui proses-proses kaderisasi yang masif digalakkan.
Baca Juga: 64 Tahun PMII, Catatan untuk PMII Blitar: Upaya Meningkatkan Kualitas di Tengah Krisis Identitas
Pada akhirnya, kuantitas akan tergilas seiring berjalannya waktu apabila anggota maupun kader tidak diarahkan pada orientasi gerakan yang sebenarnya. Sebuah kuantitas akan menjadi bias jika kepengurusannya culas dan malas. Begitupun kualitas kader melalui gagasan-gagasan pembebasan ketertindasan akan terkubur dalam-dalam jika tidak ada persinggungan kembali dengan jiwa gerakan.
Tak dapat dipungkiri bahwa kedepan lambat laun dengan output pengkaderan seperti ini akan membuat gerakan justru tak relevan dan menjadikan PMII Blitar Raya akan selalu berpura-pura menjadi aktor yang memainkan peran "pura-pura tidak tahu hal yang buruk, pura-pura tidak mendengar segala yang busuk serta tidak berbicara mengenai keduanya".
Tags
Opini