(Foto: istimewa) |
Mereka melarikan diri dari penjajahan Belanda, terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Dengan sumber daya yang terbatas, mereka menebangi hutan untuk membuka lahan pertanian dan membangun tempat tinggal.
Perlahan-lahan, komunitas ini tumbuh menjadi sebuah perkampungan yang disebut Kampung Mentaraman. Tanahnya yang subur menarik perhatian lebih banyak pendatang dari berbagai daerah, termasuk Ponorogo, Trenggalek, dan Tulungagung.
Seiring waktu, penduduknya semakin banyak, dan akhirnya mereka membentuk musyawarah yang dipimpin oleh seorang tokoh bernama Soinangun. Pada musyawarah ini, nama desa diubah menjadi Binangun, yang berarti masyarakatnya mudah dibina dan gemar membangun. Soinangun diangkat sebagai Kepala Desa pertama pada tahun 1865.
Pada tahun 1898, Kepala Desa Kromosari memprakarsai pembagian desa menjadi empat pedukuhan, yaitu Dukuh Binangun, Dukuh Tambimaron, Dukuh Kaliwungu, dan Dukuh Selok. Setiap dukuh dipimpin oleh seorang Kamituwo dan Kabayan yang membantu dalam mengelola desa.
Setelah Kromosari wafat, posisi Kepala Desa dipegang oleh Kriontani, yang kemudian menyelenggarakan pemilihan Kepala Desa pertama pada tahun 1900. Hasil pemilihan ini mengangkat Somoredjo sebagai Kepala Desa keempat.
Baca juga: Situs Sukosewu: Miniatur Candi Pemujaan Hindu Kuno Era Kerajaan Majapahit di Blitar
Seiring dengan perkembangan, Desa Sambirejo yang memiliki jumlah penduduk sedikit bergabung dengan Desa Binangun pada masa kepemimpinan Somoredjo. Ini menjadikan Sambirejo sebagai dukuh kelima di desa tersebut.
Hingga saat ini, Desa Binangun telah dipimpin oleh berbagai Kepala Desa yang terus menjaga tradisi dan nilai gotong royong yang menjadi ciri khas desa ini sejak terbentuk.