(Foto: istimewa) |
Lebih dari itu, momentum ini mengingatkan kita pada kontribusi berkelanjutan santri, khususnya melalui gerakan seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dalam menjaga dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan.
Sejarah mencatat, resolusi jihad yang dikumandangkan KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 menjadi titik api yang membakar semangat perjuangan para santri.
Ribuan santri dari berbagai pesantren turun ke medan perang, mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan. Mereka membuktikan bahwa nasionalisme dan keislaman bukanlah dua hal yang bertentangan.
Di era modern, estafet perjuangan ini dilanjutkan oleh PMII yang lahir pada 17 April 1960. Sebagai organisasi yang berakar pada tradisi pesantren dan bergerak di lingkungan kampus, PMII memiliki posisi strategis dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan melalui jalur intelektual dan gerakan sosial.
PMII telah membuktikan diri sebagai organisasi yang konsisten menyuarakan aspirasi rakyat dan memperjuangkan keadilan sosial.
Dari isu demokratisasi, pemberantasan korupsi, hingga pembelaan hak-hak kaum marginal, PMII selalu berada di garda terdepan. Ini mencerminkan semangat perjuangan para santri yang tidak pernah padam.
Dalam konteks kekinian, peran santri dan PMII semakin relevan. Di tengah tantangan globalisasi, radikalisme, dan degradasi moral, kaum santri dengan nilai-nilai moderatnya menjadi benteng pertahanan karakter bangsa.
Pemahaman mendalam mereka tentang Islam rahmatan lil 'alamin menjadi modal penting dalam menjaga persatuan Indonesia yang majemuk.
PMII, dengan tri motto nya - dzikir, fikir dan amal sholeh - memberikan contoh bagaimana nilai-nilai pesantren bisa diterjemahkan dalam konteks modern.
Melalui berbagai program kaderisasi dan pengabdian masyarakat, PMII terus mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga memiliki kepekaan sosial tinggi.
Namun, tantangan ke depan tidaklah ringan. Isu-isu seperti ketimpangan ekonomi, konflik sosial, dan ancaman disintegrasi bangsa menuntut peran lebih besar dari kaum santri dan PMII. Mereka dituntut untuk tidak sekadar menjadi pengamat, tapi juga motor penggerak perubahan.
Apalagi di hari santri tahun 2024 juga bebarengan dengan pesta politik pemilihan kepala daerah nasional. Seharusnya PMII sebagai organisasi mahasiswa yang berbasis santri dapat menjadi percontohan dalam bagaimana menciptakan suasana pesta demokrasi yang santun dan sejuk serta tetap menjaga keharmonisan tengah banyak perbedaan.
Di sinilah pentingnya revitalisasi semangat perjuangan. Santri dan PMII perlu mengembangkan strategi baru dalam menghadapi tantangan zaman, tanpa kehilangan identitas dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan para pendahulu. Program-program yang dijalankan harus lebih kontekstual dan menyentuh akar permasalahan masyarakat.
Momentum Hari Santri seharusnya tidak hanya menjadi ajang seremonial. Ini adalah waktu untuk melakukan refleksi dan introspeksi. Sejauh mana kaum santri dan PMII telah berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka, adil, dan sejahtera?
Ke depan, santri dan PMII harus terus memperkuat perannya sebagai agen perubahan sosial. Mereka harus menjadi pionir dalam membangun masyarakat yang berkeadilan, memperjuangkan hak-hak kaum lemah, dan menjaga keutuhan bangsa.
Sebab, perjuangan kemerdekaan tidak berhenti pada kemerdekaan politik, tapi berlanjut pada kemerdekaan ekonomi dan keadilan sosial.
Mari kita jadikan Hari Santri sebagai momentum untuk meneguhkan komitmen dalam melanjutkan perjuangan para pendahulu. Santri dan PMII harus tetap menjadi penjaga api perjuangan kemerdekaan, demi Indonesia yang lebih baik.
Naskah Oleh: M. Najib Zam Zami
Tags
Opini