(Foto: unsplash/@ep_petrus) |
Desa ini berada pada ketinggian 320 meter di atas permukaan laut dan memiliki tiga dusun, yakni Dusun Krajan, Kedunggong, dan Janggan. Terdapat 30 RT dan 6 RW di desa ini, yang membuatnya menjadi desa yang cukup besar dalam segi pembagian administratif.
Sejarah Desa Kedungbanteng dimulai pada tahun 1823, ketika Ki Toirono, seorang pendatang dari Trenggalek, bersama pengikutnya membuka lahan di daerah ini yang dulunya merupakan hutan belantara.
Dengan tekad dan kerja keras, mereka berhasil mengubah hutan tersebut menjadi pemukiman dan lahan pertanian yang subur. Nama Kedungbanteng sendiri diambil dari kisah Ki Toirono yang menemukan seekor banteng tua mati di sebuah kolam di daerah yang kini menjadi Dusun Krajan.
Desa Kedungbanteng memiliki nilai sejarah yang mendalam. Salah satu situs penting di desa ini adalah Punden Mbah Joko Tuwo, yang dipercaya sebagai tempat keramat oleh penduduk setempat.
Legenda menyebutkan bahwa Mbah Joko Tuwo adalah seorang prajurit Mataram yang melarikan diri selama perang melawan Belanda dan dimakamkan di desa ini.
Desa Kedungbanteng sempat menjadi bagian dari Desa Ringin Anom dan Desa Ngrejo sebelum berdiri sendiri pada tahun 1912.
Sejak saat itu, desa ini dipimpin oleh beberapa kepala desa yang berkontribusi dalam membangun desa, dengan Marsaid saat ini menjabat sebagai kepala desa hingga tahun 2025.
Seiring berjalannya waktu, warga desa terus berupaya membangun desa mereka untuk kesejahteraan bersama, dengan tetap menghormati para pendiri yang berjasa.