Menjadi Maestro Pergerakan seperti M. Zamroni

Menjadi Maestro Pergerakan seperti M. Zamroni
Bicara Blitar -
Barangkali namanya kini tak sekaliber tokoh aktivis mahasiswa lain, yang lahir sesudahnya dan berhasil menumbangkan Orde Baru 1998. Ketika ditelusuri jejaknya pada gerakan mahasiswa tahun 1966 yang berhasil meneriakkan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) untuk menumbangkan Orde Lama, hanya sedikit yang menyebutkan namanya. Tokoh ini punya jejak gemilang sebagai penggerak yang kini sudah jarang dibahas khalayak. 

M. Zamroni lahir Kudus, 10 Agustus 1935 - wafat 5 Februari 1996. Dia merupakan seorang sosok kunci dari seluruh gerakan mahasiswa 1965 - 1966. Layaknya sebagai seorang penggerak, M. Zamroni adalah kekuatan pertama dari elemen mahasiswa dan tokoh PMII yang tampil menyerukan pengganyangan PKI. 

Beliau saat itu merupakan mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Ciputat Jakarta (Sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Bersama tokoh progresif Nahdlatul Ulama saat itu seperti Subchan Ze, Yusuf Hasyim dan Azwar Tias dengan membawa nama sayap muda NU dan PMII memimpin rapat akbar pada 4 Oktober 1965. Rapat itu merupakan pertemuan massa pertama pasca terjadinya G30S/PKI dengan agenda mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI. 

Pernyataan dari tokoh muda Nahdlatul Ulama dan para Pengurus Pusat PMII mendapat berbagai dukungan, terutama dari internal PMII sendiri. Keesokan harinya, PMII DKI Jaya aktif dalam membakar dan mengobrak-abrik markas besar PKI yang terletak dekat Kantor PMII di Jl. Keramat Raya 164. 

Ketua Umum PMII DKI Jaya, Abdurrahman Hasan memimpin anggotanya membakar rumah Ketua PKI, D.N Aidit. Selanjutnya, banyak anggota PMII membakar kantor - kantor ormas yang berafiliasi dengan PKI. Gerakan ini semakin hari semakin mendapat dukungan dari tokoh lintas organisasi kemahasiswaan seperti Harry Tjan Silalahi dan Cosmas Batubara (PMKRI), David Napitupulu (Mapancas), dan Mar'i Muhammad (HMI). 

Para tokoh mahasiswa ini kemudian dikumpulkan oleh Menteri Perguruan Tinggi, Syarif Thayeb untuk membentuk organisasi baru bernama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). M. Zamroni dari PMII terpilih sebagai Ketua Presidium Pusat KAMI.

4 November 1965, KAMI menggelar aksi pertama berupa rapat akbar dan mengeluarkan pernyataan yang mengutuk PKI. Di bawah pimpinan Zamroni, KAMI mengadakan serangkaian demonstrasi yang menuntut Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI dan merombak kabinet yang didominasi oleh PKI. 

Dalam aksi tersebut, Zamroni sebagai Ketua Presidium KAMI untuk pertama kalinya berpidato dengan tujuan membangkitkan semangat massa dan mengarahkan demonstrasi. KAMI mendorong Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) untuk bergerak, mengingat sebelumnya gerakan mahasiswa di UI sulit bergerak karena dominasi CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia/sayap mahasiswa PKI) di kampus. 

KAMI beranggapan bahwa jika Mahasiswa UI bergerak, akan menciptakan pengaruh yang luas bagi kampus lainnya karena UI dianggap sebagai kiblat akademik. KAMI kemudian mengadakan demonstrasi secara terus menerus di depan Istana Negara. Gelombang demonstrasi yang terus berlangsung sepanjang tahun 1965-1966 tidak terlepas dari peran KAMI dan PMII.

Akhir tahun 1965, Pemerintah gagal menahan laju inflasi sebesar 600% yang menyebabkan kenaikan berbagai kebutuhan pokok. Hal ini disebabkan banyaknya anggaran yang digunakan untuk membiayai politik mercusuar dan politik konfrontasi pemerintah terhadap Malaysia ditambah pemutusan hubungan diplomatik dengan barat oleh Pemerintah. 

Melihat keadaan yang semakin sulit membuat rakyat menderita, KAMI semakin intensif melakukan demonstrasi sebagai langkah koreksi total terhadap kebijakan rezim Orde Lama. Awal 1966 KAMI melahirkan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat) yang isinya: Bubarkan PKI beserta antek anteknya, Retoor menteri - menteri yang goblok, Turunkan Harga. Tak lama setelahnya terbitlah Surat Perintah 11 Maret 1966, sebagai legalitas Pembubaran PKI beserta sayap-sayapnya.

Setelahnya seluruh Struktur Negara dibersihkan dari unsur Komunis dan secara perlahan meruntuhkan Orde Lama sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tragedi nasional yang terjadi. Zamroni telah menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan baik dari awal sampai saat berakhirnya tugas KAMI dalam membidani kelahiran Orde Baru, yang itu juga berarti kepemimpinan PMII.

M. Zamroni akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum PB PMII periode 1967 - 1970. Kepemimpinannya dalam KAMI memperlihatkan bahwa PMII mempunyai andil besar terhadap seluruh kegiatan dan mobilisasi dalam rangka meruntuhkan Orde Lama. Saksi yang tak dapat diabaikan adalah "Jemari tangan kanan Zamroni yang tinggal dua buah" yang tiga terputus ketika memimpin demonstrasi KAMI.

Keberhasilan seluruh gerakan mahasiswa yang dipimpin KAMI, sontak membuat pamor M. Zamroni naik. Zamroni terpilih bersama teman - temannya dalam KAMI untuk duduk menjadi anggota DPR-GR. Pernyataan politik, foto foto Zamroni banyak menghiasi media cetak. Sejak saat itu, Zamroni menjadi figur politik dan sudah semakin cemerlang berkiprah di kancah politik nasional. 

Namun bukan berarti Idealismenya luntur, Zamroni atas nama PB PMII seringkali mengkritik kebijakan di awal Orde Baru. Salah satunya kebijakan redreessing anggota DPRD, DPR, MPR dengan didominasi Sekber Golkar dan ABRI. Menurut Zamroni pemaksaan kebijakan itu merupakan preseden dari macetnya kehidupan politik yang demokratis, tidak sama seperti yang pernah diperjuangkan pada awal Orde Baru.

M. Zamroni terpilih kembali menjadi Ketua PB PMII untuk kedua kalinya pada periode 1970 - 1973. Seperti yang diketahui bahwa PMII saat itu masih dependen dengan NU, maka praktis dalam kegiatan misalnya Pemilu, banyak aktivis PMII yang akhirnya terjun menjadi politisi bahkan Zamroni sendiri menjadi anggota DPR-GR ikut juga dalam hiruk pikuk Pemilu 1971. 

Setelah hasil yang mengecewakan yang diterima Partai NU pada Pemilu 1971 akibat manipulasi Pemilu oleh Pemerintah Orde Baru, para Pengurus Pusat PMII juga Zamroni sebagai Ketua Umum menyadari bahwa keterlibatan PMII dalam politik praktis menyebabkan kemandekan. Selain itu PMII juga terlihat mandul, tidak kritis dan tidak responsif terhadap berbagai perkembangan yang terjadi seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan negara.

Keadaan PMII seperti ini karena setiap bersikap dan berpendapat harus menunggu "Fatwa NU" sebagai organisasi induknya. Akibatnya PMII semakin dijauhi mahasiswa dan semakin tidak diperhitungkan. Dalam kondisi demikian Zamroni dan Umar Basalim menyambut baik Independensi PMII dengan catatan hanya lepas struktural dari NU, namun masih terikat dalam pengamalan Islam Ahlusunnah Wal Jama'ah.

Kendati terjadi pro kontra di kalangan NU dan masih terjadi perbedaan pendapat di internal PMII sendiri gagasan tersebut mendapat dukungan dari banyak cabang. Untuk memantapkan gagasan tersebut PP PMII menggelar Musyawarah Besar II di Murnajati Malang pada 14-16 Juli 1972.

Setelah akhir masa jabatannya di PB PMII, Zamroni menjadi anggota DPR RI dan menduduki DPP PPP. Hal ini selaras dengan kebijakan Fusi Partai, salah satu akibatnya Partai NU digabung dalam PPP. Karena kegigihannya dalam mengkritik Orde Baru membuat Zamroni susah melenggang ke Senayan di Pemilu berikutnya. Belum lagi rezimentasi Orba lewat Djaelani Naro (Politisi PPP dan menjadi setelahnya menjadi Ketua saat itu) yang berusaha membersihkan PPP dari unsur NU membuat sosok Zamroni tersingkir dari kancah politik nasional. 

Keteguhan Zamroni sebagai aktivis idealis dibuktikan bahwa sampai akhir hayat ia hidup sederhana di rumah btn itupun pemberian Cosmas Batubara, rekannya saat ia meruntuhkan Orde Lama dulu.

Dapat dilihat bahwa baik didalam maupun diluar PMII pun, Zamroni telah menunjukkan konsistensinya dalam mengkritik seluruh kebijakan yang tak sesuai dengan nilai - nilai yang dulu pernah diperjuangkan sebagai mahasiswa melalui KAMI dan PMII. Bahkan saat beliau menduduki kursi di DPR RI, ia tetap kritis terhadap kekuasaan karena memang berkeyakinan tinggi terhadap konsistensi yang menjadi prinsipnya sekalipun awalnya saat menjadi DPR - GR melalui kebijakan redreessing

Kedewasaan dalam berkiprah dan keberanian menjaga prinsip senantiasa jadi pedoman, dikala aktivis lain sesamanya sibuk lobi - lobi politik demi kenyamanan hidup. M. Zamroni dengan tegas menolak prinsip - prinsip yang diakuinya untuk menjadi tumbal demi sebuah kekayaan semata, apalagi hal itu didapat dari hasil praktik penyimpangan kekuasaan. 

Sebagai kader PMII setidaknya wajib untuk meneladaninya sebagai tokoh dari rahim NU dan PMII yang senantiasa dijaga sekaligus terus dirawat, baik pemikiran maupun sejarahnya. Apalagi di tengah arus pragmatisme yang banyak menghinggapi gerakan mahasiswa hari - hari ini adalah tujuan dari penulis menuliskan kembali sedikit perjalanan dari seorang Maestro Pergerakan sesungguhnya dengan harapan dijadikan kerangka refleksi kader saat Idealisme mengalami degradasi seperti sekarang ini.

Penulis: Alex Cahyono, Ketua Komisariat PMII Madjapahit Universitas Islam Balitar (Unisba) Blitar
Lebih baru Lebih lama

Ikuti Kami

Magspot Blogger Template

نموذج الاتصال